Di pemakaman massal yang senyap di Deir al-Balah, Gaza, 54 jasad warga Palestina dimakamkan tanpa nama, tanpa tanda, tanpa perpisahan. Setiap tubuh itu menyimpan kisah yang belum sempat diceritakan. Mereka adalah bagian dari 195 jasad yang diserahkan Israel setelah identitasnya gagal dikenali, meninggalkan kisah yang menggantung di antara hening makam dan ratap keluarga yang terus menunggu kabar.
Di balik setiap jasad, ada seorang ibu yang masih mencari wajah anaknya di antara foto-foto para syuhada, ada rumah yang sunyi tanpa kabar, dan ada tubuh-tubuh yang menyimpan jejak kekerasan. Beberapa menunjukkan tanda-tanda penyiksaan, sebagian lain memar dan patah tulang, menjadi bukti kebrutalan pendudukan yang tak berhenti pada pembunuhan, tapi juga sengaja menghapus identitas korban.
Menurut otoritas di Gaza, proses pemakaman dilakukan setelah masa tunggu sekitar lima hari. Setiap jasad didokumentasikan dan difoto bersama barang-barang pribadinya sebelum dimasukkan ke liang kubur bernomor.
Namun, foto-foto dari pemakaman itu memicu gelombang kemarahan di media sosial. Banyak aktivis menyebut Israel sengaja menolak mengungkap nama-nama para syuhada dan menghalangi masuknya alat uji DNA. Akibatnya, keluarga korban kehilangan hak paling dasar: mengucapkan selamat jalan. Duka pun berpindah dari satu rumah ke rumah lain, dari satu ibu ke ibu lain.
Aktivis menulis, para syahid itu dikuburkan tanpa nama, tanpa pelukan terakhir, tanpa nisan bertuliskan identitas. Setiap jasad menjadi simbol cerita yang terhenti di tengah jalan, dan luka bagi keluarga yang masih menunggu seseorang yang tak akan pulang.
“Mereka kembali tanpa nama dan tanpa wajah, seolah perang telah merampas bahkan hak mereka untuk dikenali,” tulis seorang pengguna X (Twitter). Pengguna lain menambahkan, “Setiap kain kafan menyimpan kisah yang belum selesai, dan setiap jasad adalah anak yang tak sempat diberi tahu bahwa ia akhirnya pulang—ke tanah.”
Beberapa keluarga berhasil mengenali orang terkasih melalui detail kecil: bentuk wajah, potongan kuku, atau luka lama di tubuh. Seorang perempuan Palestina bercerita bahwa ia mengenali suaminya dari bekas luka di punggung akibat peluru saat demonstrasi Great March of Return. Tubuhnya penuh bekas pukulan, dan ibu jarinya hilang.
Para aktivis menyebut Israel telah mengambil sampel dari setiap jasad untuk tes DNA, tapi tetap menolak mengungkap identitas mereka. Banyak jasad menunjukkan tanda penyiksaan berat, dari kepala hingga kaki, sebagian tubuh remuk karena dilindas tank, tangan terikat, mata tertutup.
“Mereka dieksekusi dengan cara yang keji, tanpa upaya sedikit pun untuk menghapus jejak kejahatan,” tulis seorang aktivis. “Israel tahu tidak ada yang akan menuntutnya. Dunia memilih diam. Dan rakyat Palestina mengubur orang yang mereka cintai dalam keheningan.”
Dari pihak Gaza, upaya identifikasi dilakukan dengan segala keterbatasan. Petugas memanggil keluarga korban satu per satu, berharap mereka mengenali pakaian, tinggi badan, atau luka di tubuh. Kementerian Kesehatan bahkan membuat laman daring berisi foto-foto yang telah disunting demi menjaga martabat jenazah, sebuah ikhtiar kecil agar setiap keluarga punya kesempatan mengenali yang hilang.
Di tanah yang tak pernah berhenti menanam luka, bahkan kematian pun masih harus menunggu untuk dikenali.










