Sejumlah analis hukum dan politik menilai krisis kemanusiaan di Jalur Gaza terus memburuk karena dunia gagal menegakkan keadilan dan mengabaikan putusan penting dari Mahkamah Internasional. Para pakar juga menilai negara-negara, termasuk kekuatan besar dan beberapa negara Arab, ikut terlibat dalam kejahatan terhadap rakyat Palestina.

Meski Mahkamah Internasional dan Mahkamah Pidana Internasional telah mengeluarkan keputusan penting, termasuk soal genosida di Gaza, Israel tetap melanjutkan pelanggaran hukum internasional. Bantuan kemanusiaan dijadikan alat tawar-menawar, dan distribusinya ke Gaza dipolitisasi sesuai kepentingan negosiasi.

Dalam laporan terbaru, Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) menyebutkan bahwa Gaza kini menghadapi krisis kemanusiaan terburuk sejak perang dimulai 18 bulan lalu. Laporan itu menegaskan, blokade Israel menjadi penyebab utama kelaparan dan penderitaan warga sipil.

Bukan Salah Pengadilan, Tapi Negara-Negara

Mantan Jaksa Mahkamah Pidana Internasional, Luis Moreno Ocampo, menegaskan bahwa Mahkamah Internasional telah menjalankan perannya dengan menyerukan penghentian kekerasan terhadap warga sipil. Menurutnya, kegagalan terjadi karena negara-negara tidak menjalankan putusan yang telah dikeluarkan.

“Yang dibutuhkan saat ini bukan lagi definisi hukum, melainkan pelaksanaan hukum,” kata Ocampo dalam sebuah wawancara televisi.

Ia menyebut bahwa keputusan yang dikeluarkan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant seharusnya segera diimplementasikan.

Ocampo juga mengecam dunia internasional yang membiarkan Netanyahu menghalangi masuknya makanan dan bahan bakar tanpa hukuman.

“Dia bahkan masih mendapatkan perlindungan internasional, meski sudah tidak bisa lagi mengunjungi sebagian negara Eropa,” ujarnya.

Meski membuka kemungkinan Dewan Keamanan mencabut surat perintah penangkapan jika tercapai kesepakatan damai antara AS dan Iran, Ocampo menekankan bahwa dunia tidak boleh meremehkan hukum internasional. Ia menyebut putusan terhadap Netanyahu sebagai langkah hukum bersejarah dan tak terduga.

Tuduhan Keterlibatan Global dalam Genosida

Namun, pandangan berbeda datang dari akademisi Universitas Sorbonne, Prof. Muhammad Henid. Ia menyatakan bahwa seluruh lembaga dan negara, termasuk negara-negara Arab, turut serta dalam genosida terhadap rakyat Palestina.

Henid menyebut hukum internasional tidak lebih dari “bedak kosmetik” untuk menutupi wajah asli tatanan global. Ia menyinggung pernyataan Jaksa ICC, Karim Khan, yang mengaku mendapat ancaman langsung dari pemerintah AS jika melanjutkan proses hukum terhadap Israel.

Lebih jauh, Henid mengutip pernyataan mantan Presiden AS Donald Trump yang menyatakan bahwa hukum internasional “dibuat untuk Afrika, Arab, dan Rusia – bukan untuk AS dan sekutunya”. Ia menambahkan, “Trump sendiri berkata, ‘Kami yang menciptakan hukum internasional’.”

Henid menegaskan bahwa hukum internasional tak pernah benar-benar diterapkan di Bosnia, Suriah, Irak, atau Afghanistan, dan hanya digunakan untuk menekan umat Islam dan bangsa Arab.

Ia juga menyebut bahwa isu sandera Israel dijadikan dalih untuk membunuh warga Palestina dan melucuti senjata perlawanan, dengan dukungan AS, Barat, dan sejumlah negara Arab.

“Netanyahu sendiri ingin membunuh para sandera. Itu sebabnya ia mengaktifkan kebijakan ‘Hannibal’ untuk membom lokasi yang diduga menyimpan sandera,” kata Henid.

Ia pun menyebut surat penangkapan terhadap Netanyahu dan Gallant tidak cukup.

“Yang terlibat dalam kejahatan ini bukan hanya dua orang itu. Seluruh institusi Israel terlibat. Pembatasan hanya pada dua individu justru memberi rasa aman kepada yang lain untuk terus berbuat tanpa takut dihukum.”

Bantuan Diklaim Dikuasai Hamas, Tapi Israel Sendiri Akui Strategi Kelaparan

Jurnalis Palestina Wisam Afifeh menolak klaim Israel bahwa Hamas menyita bantuan. Menurutnya, pernyataan itu bertentangan dengan ucapan para pejabat Israel sendiri yang secara terbuka menyatakan strategi mereka adalah membuat warga Gaza kelaparan agar Hamas menyerahkan para sandera.

Afifeh menyebut, saat ini tidak ada lagi pemerintahan lokal di Gaza karena perang, sehingga distribusi bantuan sepenuhnya dikendalikan lembaga internasional dan regional.

“Israel bahkan menghitung bantuan hingga kalori terkecil sebelum masuk ke Gaza,” ujarnya.

Menurutnya, sebagian besar bahan makanan sudah tidak tersedia di pasar. Jika pun ada, harganya melambung tinggi dan di luar jangkauan masyarakat. Akibatnya, warga kini bergantung pada dapur umum dan bantuan makanan gratis.

Militer Israel juga terus mencegah masuknya pasokan dasar seperti makanan dan air dengan menutup semua jalur masuk, memicu krisis kelaparan yang meluas. Tindakan ini bertentangan dengan hukum internasional yang mewajibkan Israel sebagai kekuatan pendudukan untuk melindungi kehidupan sipil.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pun menegaskan bahwa Israel memiliki kewajiban yang tidak bisa dinegosiasikan di bawah Konvensi Jenewa.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here