Pemerintah kota Gaza menyebut kondisi Gaza City saat ini sebagai “realitas bencana” setelah serangan militer Israel sejak Oktober 2023 menghancurkan lebih dari 80 persen infrastruktur kota. Mereka mendesak dunia internasional segera membuka jembatan darat, laut, dan udara untuk memasukkan alat berat serta bantuan kemanusiaan dalam skala besar.
Juru bicara Kotamadya Gaza, Husni Mehanna, mengatakan pihaknya baru memulai kampanye pembersihan puing-puing bangunan yang kini menjulang seperti gunung di tengah kota. Namun upaya itu terhenti karena minimnya peralatan.
“Inisiatif ini membutuhkan pendanaan darurat sebesar 140 juta dolar AS,” ujarnya kepada kantor berita Anadolu. Ironisnya, kotamadya hanya memiliki satu unit buldoser setelah sebagian besar peralatannya hancur akibat serangan.
Meski begitu, otoritas kota tetap bekerja sama dengan Komite Rekonstruksi Qatar untuk memulai proses pemulangan warga yang terusir ke wilayah mereka, meski banyak kawasan kini rata menjadi puing.
Krisis Air Bersih dan Ancaman Bencana Kesehatan
Situasi juga semakin memburuk akibat terputusnya pasokan air bersih. Serangan Israel telah menghancurkan 56 sumur air utama dan merusak puluhan lainnya, membuat banyak permukiman tidak lagi memiliki akses air layak konsumsi.
Selain itu, lebih dari 250 ribu ton sampah kini menumpuk di area permukiman serta dekat kamp pengungsian.
Mehanna memperingatkan, “Jika sampah ini tidak segera diangkat, Gaza akan menghadapi bencana lingkungan dan kesehatan yang mematikan.”
Dengan blokade yang masih berlangsung dan bantuan yang masuk sangat terbatas, jutaan warga Gaza kini hidup di antara reruntuhan, tanpa air, tanpa layanan publik, dan tanpa jaminan masa depan.
Sumber: Al Jazeera