Pada Ahad malam (12/10), jurnalis Saleh Ja’frawi syahid ditembak geng yang bekerja sama dengan intelijen Israel saat tengah mendokumentasikan kehancuran akibat agresi Zionis di kawasan Tel al-Hawa, selatan Kota Gaza.
Saleh (27 tahun) dikenal luas sebagai salah satu jurnalis dan aktivis media paling vokal di Gaza. Ia syahid saat menjalankan tugasnya, mengangkat fakta, menunjukkan kehancuran, dan menyuarakan penderitaan rakyatnya kepada dunia. Saat sedang merekam kondisi permukiman di Jalan 8, tiba-tiba ia disergap dan ditembak dari jarak dekat. Ia syahid di tempat.
Sejak awal agresi Israel terhadap Gaza, Saleh menolak meninggalkan tanah kelahirannya meski mendapat ancaman pembunuhan. Namanya berulang kali menjadi sasaran ujaran kebencian dari juru bicara tentara Israel Avichay Adraee yang terang-terangan memfitnahnya di media sosial.
Namun setiap ancaman justru menguatkan komitmennya. Saleh berdiri di garis depan liputan, bukan sekadar memegang kamera, tetapi memegang amanah kemanusiaan: merekam agar dunia tidak bisa berpaling dari kebenaran.
“Ia Bukan Sekadar Jurnalis, Ia Suara Rakyat Gaza”
“Saleh tidak hanya seorang jurnalis. Ia suara rakyat Gaza, cermin luka mereka,” kata sepupunya, jurnalis Saba Ja’frawi, kepada Al Jazeera.
“Setiap kali terjadi serangan, dia selalu menjadi yang pertama tiba di lokasi. Ia seperti merasa punya tugas yang belum selesai. Dia tidak pernah takut,” ujarnya.
Saleh belajar Jurnalistik di Universitas Islam Gaza dan dikenal memiliki kemampuan bahasa Arab yang fasih karena hafal Al-Qur’an sejak muda. Ia aktif di media sosial dan berhasil membangun jaringan informasi yang kuat, meski berkali-kali akunnya ditutup oleh perusahaan Meta karena konsisten mengungkap kejahatan perang Israel.
Aktivis Kemanusiaan yang Dicintai Rakyat
Selain jurnalisme, Saleh adalah relawan kemanusiaan. Ia terlibat dalam penyaluran bantuan untuk pengungsi, orang sakit, dan keluarga syuhada. Selama perang, ia ikut menggalang dana 10 juta dolar AS untuk membangun kembali rumah sakit anak di Gaza. Pada Idul Adha terakhir, ia memimpin program penyembelihan hewan kurban terbesar di wilayah Gaza yang terkepung.
“Saleh adalah lembaga kemanusiaan yang berjalan sendiri,” ujar rekannya, jurnalis Ayman Al-Hissi dari Al Jazeera Mubasher. “Ia meliput pembantaian di Sekolah al-Jarjaawi. Saat melihat anak-anak yang terbakar hidup-hidup, ia menangis, meletakkan kameranya, lalu ikut mengevakuasi jasad syuhada. Ia memilih berpihak kepada kemanusiaan.”
Berani, Tulus, dan Menginspirasi
Sebelum dikenal luas, Saleh sudah membuktikan dedikasinya sejak Aksi Kepulangan Akbar (Great March of Return) pada 2018. Ia meliput demonstrasi perbatasan dengan nyawanya sendiri sebagai taruhannya—bahkan beberapa kali terluka akibat tembakan tentara Israel.
“Dia bukan jurnalis biasa,” kata jurnalis Wael Abu Mohsen. “Dia fenomena media. Instagram-nya diikuti lebih dari 10 juta orang, dan semuanya melihat Gaza melalui matanya.”
Selain itu, Saleh juga dikenal sebagai sosok religius dan lembut. Ia seorang hafiz Al-Qur’an dan penyanyi nasyid. Lagu terakhirnya yang viral, “Qawiyyah Ya Gaza” (Gaza yang Perkasa), menjadi nyanyian perlawanan dan harapan di tengah kehancuran.
Sumber: Al Jazeera