Hari Raya Idul Adha yang seharusnya menjadi momen penuh suka cita, kembali disambut anak-anak Gaza dalam suasana kelaparan dan ketakutan. Pada Jumat, 6 Juni 2025, hari raya menjadi yang keempat sejak pecahnya perang dan genosida Israel atas Palestina pada Oktober 2023.

Selama 20 bulan, serangan militer Israel telah membunuh dan melukai lebih dari 179 ribu warga Palestina, sebagian besar anak-anak dan perempuan. Lebih dari 11 ribu orang masih hilang, dan ratusan ribu lainnya terusir dari rumah mereka, hidup dalam tenda kumuh dan kekurangan pangan.

Tidak seperti hari raya sebelumnya, Idul Adha kali ini berlangsung di tengah kelaparan hebat akibat penutupan total akses bantuan sejak 2 Maret. Anak-anak tidur dalam keadaan lapar tanpa sepotong roti pun. Mereka kehilangan rumah, keluarga, dan rasa aman. Tak ada pakaian baru, tak ada mainan, tak ada senyum.

Retaj Syamiyah (11 tahun) mengaku tidak merasakan kegembiraan hari raya. “Tidak ada makanan, tidak ada uang, tidak ada pakaian baru,” ujarnya. Farah Muqbil (16 tahun), yang baru saja mengungsi dari Jabalia, berkata bahwa semua anggota keluarganya telah syahid. “Kami tidur diiringi suara bom, bangun disambut kabar kematian.”

Adel Muqbil, seorang anak laki-laki, mengatakan perang telah merampas masa kecilnya. Ia kini memikul beban orang dewasa: antre air, mencari makanan, seringkali pulang dengan tangan kosong. Ia bermimpi menjadi dokter untuk merawat korban luka, meski saat ini bahkan air minum pun terasa asin.

Menurut PBB, Israel mendorong Gaza menuju bencana kelaparan dengan menutup semua akses bantuan. Pelapor Khusus PBB, Michael Fakhri, menyebut kondisi ini sebagai genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Hari raya ini, anak-anak Gaza tidak berbagi tawa, tapi menahan lapar, memikul trauma, dan menggantungkan harapan pada dunia yang masih diam. Idul Adha bagi mereka bukan lagi hari bahagia—melainkan simbol penderitaan dalam reruntuhan dan genangan darah.
