Pemimpin senior Gerakan Perlawanan Islam (Hamas), Mousa Abu Marzouk, menegaskan bahwa Hamas menyetujui secara prinsip rencana yang diajukan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, untuk mengakhiri perang di Jalur Gaza. Namun, ia menekankan bahwa pelaksanaannya memerlukan perundingan serius dan kesepakatan rinci.

Dalam wawancaranya dengan Al Jazeera, Abu Marzouk menyebut bahwa Hamas menyikapi proposal itu secara positif, terutama karena menempatkan prioritas utama pada penghentian perang dan penghentian pembantaian terhadap warga sipil Palestina.

“Hamas mendukung setiap langkah yang mengarah pada penghentian agresi Israel,” ujarnya. “Kami ingin perang ini berhenti, rakyat Gaza selamat, dan bantuan kemanusiaan segera masuk tanpa hambatan.”

Dukungan atas Prinsip Perdamaian dan Pertukaran Tawanan

Dalam pernyataan resmi yang dirilis Jumat (3/10/2025), Hamas menyebut telah melakukan konsultasi luas dengan berbagai pihak, termasuk faksi-faksi Palestina, tokoh independen, mediator internasional, dan para ahli hukum, untuk mencapai “posisi yang bertanggung jawab” dalam menanggapi rencana Trump.

Gerakan itu menyatakan kesediaannya membebaskan seluruh tawanan Israel, baik hidup maupun gugur, sesuai dengan mekanisme pertukaran yang diusulkan, dengan syarat perang dihentikan dan pasukan pendudukan ditarik sepenuhnya dari Jalur Gaza.

Abu Marzouk menambahkan, Hamas fokus pada sembilan poin utama dari rencana tersebut, yang mencakup penghentian perang, penarikan pasukan Israel, pemberian bantuan kemanusiaan, serta penyerahan pemerintahan Gaza kepada komite teknokrat independen. Ia menegaskan bahwa poin itu telah disepakati secara nasional dalam pertemuan di Kairo.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa sejumlah klausul teknis, seperti penyerahan seluruh tawanan dalam 72 jam, masih membutuhkan pembahasan lebih rinci dan realistis.

Tentang Isu Senjata dan Kedaulatan Palestina

Menanggapi isu pelucutan senjata Hamas, Abu Marzouk berkata tegas, “Israel sendiri mengklaim telah menghancurkan 90 persen kekuatan kami. Jadi, senjata apa lagi yang ingin mereka cabut?”

Ia menambahkan, jika suatu hari negara Palestina yang berdaulat benar-benar terbentuk, maka Hamas bersedia menyerahkan senjatanya.

“Senjata kami bukan untuk kekuasaan, melainkan untuk melawan pendudukan. Jika penjajahan berakhir dan rakyat Palestina berdaulat atas tanahnya, maka senjata itu akan berada di tangan pemerintah sah Palestina,” tegasnya.

Abu Marzouk menegaskan bahwa hak rakyat Palestina untuk melakukan perlawanan diakui oleh hukum internasional, dan tidak ada kekuatan mana pun yang bisa menafikannya.

Soal Pasukan Internasional dan Labelisasi “Terorisme”

Terkait rencana pengiriman pasukan penjaga perdamaian ke Gaza, Abu Marzouk menyebut bahwa hal itu masih memerlukan perundingan mendalam.

“Siapa yang akan mengirim pasukan itu? Di bawah mandat siapa mereka bekerja? Di mana wilayah operasinya? Semua harus dibahas secara transparan,” katanya.

Ia juga menolak keras klausul dalam rencana Trump yang menyebut Gaza harus ‘bebas dari terorisme’.

“Hamas bukan organisasi teroris,” tegasnya. “Kami adalah gerakan pembebasan yang membela hak sah bangsa kami. Labelisasi semacam itu adalah propaganda politik Israel dan Washington.”

Abu Marzouk menegaskan bahwa masa depan Palestina tidak dapat ditentukan oleh Hamas seorang diri.

“Ada banyak pihak yang menjadi bagian dari perjuangan ini. Tidak etis bagi Hamas mengatakan ‘ya’ atau ‘tidak’ sendirian,” ujarnya.
Ia menegaskan, rakyat Palestina menolak segala bentuk perwalian atau campur tangan asing.

Menutup pernyataannya, Abu Marzouk menyinggung tanggung jawab moral Amerika Serikat.

“Jika Trump sungguh ingin diingat sebagai presiden yang membawa perdamaian dan layak meraih Nobel, maka ia tak bisa bermitra dengan seorang yang diadili atas kejahatan perang seperti Netanyahu—yang pasukannya tengah melakukan genosida di depan mata dunia.”

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here