Di jantung Gaza, di bawah dentuman bom dan langit yang dipenuhi asap, tim penyelamat terus berjibaku. Selama 18 jam tanpa henti, mereka menggali reruntuhan rumah yang dihantam jet tempur Israel, berjuang menyelamatkan seorang perempuan yang masih memberi tanda kehidupan.

Dengan peralatan seadanya (sekop, tangan, dan tekad) mereka melawan waktu, berharap bisa menariknya keluar sebelum napas terakhirnya hilang ditelan debu.

Tak jarang, usaha mereka ditunda oleh serangan udara berulang, atau terhenti sama sekali ketika pasukan Israel mengepung kawasan. Ambulans dan mobil pemadam kehabisan bahan bakar, sementara permintaan izin untuk bergerak sering ditolak. Bahkan, alat berat yang bisa menyelamatkan banyak jiwa dilarang masuk, memaksa mereka menggali dengan tangan kosong, berhari-hari di depan puing-puing yang menahan rintihan korban.

Meskipun 90% fasilitas mereka telah hancur, meskipun 197 ambulans dan 61 kendaraan penyelamat telah dilumpuhkan, para relawan ini menolak meninggalkan Gaza. Mereka sadar, setiap menit adalah taruhan hidup-mati bagi anak-anak, perempuan, dan orang tua yang masih terperangkap di bawah reruntuhan.

“Tidak mungkin kami berhenti. Selama ada warga yang bertahan di rumah-rumahnya, kami akan tetap di sini,” tegas Mahmoud Basal, juru bicara Pertahanan Sipil Gaza.

Namun tugas kemanusiaan mereka terus diburu. Drone Israel melepaskan bom pembakar ke titik-titik pos medis, memaksa klinik tutup paksa. Ambulans ditembak, paramedis dipukul mundur, dan aturan internasional yang seharusnya melindungi mereka diabaikan begitu saja.

Kisah mereka adalah potret keberanian yang menolak tunduk, di mana sekop dan tandu menjadi senjata melawan keputusasaan, dan setiap nyawa yang berhasil diselamatkan adalah bentuk perlawanan tersendiri di tengah genosida yang tak kunjung berhenti.