Pertarungan sengit di Gaza memasuki babak baru. Pertahanan sipil di wilayah terkepung itu memperingatkan dunia tentang konsekuensi kemanusiaan yang kian memburuk seiring intensifnya operasi militer Israel. Pasukan pendudukan disebut tengah menyiapkan rencana besar untuk menduduki Kota Gaza, sementara puluhan ribu warga sipil kembali dipaksa mengungsi ke area yang mereka sebut “zona aman”, sebuah istilah yang di lapangan justru bermakna jebakan penderitaan.

Menurut laporan Pertahanan Sipil Gaza, penduduk yang tersisa di kawasan seperti al-Zaitun, al-Sabra, Jabalia, hingga Khan Younis menghadapi situasi genting. Mereka yang terjebak di wilayah operasi militer berulang kali melayangkan panggilan darurat, namun sebagian besar tak bisa dijangkau karena pasukan Israel menolak memberikan izin koordinasi untuk misi kemanusiaan. “Kami menerima seruan pertolongan tanpa henti, tapi banyak yang tidak bisa kami jawab karena wilayah itu dinyatakan ‘zona militer tidak aman’,” ungkap mereka.

Kebijakan Israel ini, menurut Pertahanan Sipil, bukan sekadar operasi militer, melainkan strategi terukur untuk mempersempit ruang hidup warga sipil secara sistematis. “Warga dipaksa terkonsentrasi dalam satu wilayah, dengan sedikit akses bantuan, sehingga menambah beban dan risiko kematian massal,” tegas pernyataan resmi. Mereka mendesak komunitas internasional agar menekan Israel menghormati hukum humaniter internasional yang dengan jelas melarang praktik tersebut.

Di sisi lain, dunia internasional juga mulai memperingatkan tanda-tanda bencana yang lebih besar. Meski Israel berulang kali menjanjikan pembukaan akses bantuan, kenyataannya sejak hampir enam bulan terakhir tenda dan perlengkapan darurat bagi pengungsi masih dilarang masuk. Lima lembaga kemanusiaan, termasuk badan-badan PBB, menegaskan hambatan itu bukan teknis, melainkan politik: Israel mengklaim peralatan darurat berpotensi digunakan untuk tujuan militer. Padahal, menurut PBB, lebih dari 1,3 juta warga Gaza sangat membutuhkan tenda, terutama menjelang gelombang pengungsian baru akibat serangan yang sedang disiapkan untuk menduduki Kota Gaza.

Sementara itu, keputusan Menteri Pertahanan Israel, Yisrael Katz, yang menyetujui operasi “Kereta Gideon II” menjadi sinyal nyata eskalasi. Puluhan ribu pasukan tambahan dikerahkan untuk menguasai jantung Gaza, meskipun upaya mediasi gencatan senjata masih berjalan. Dalam enam bulan terakhir sejak Oktober 2023, perang Israel yang didukung penuh Amerika Serikat telah menewaskan lebih dari 62 ribu warga Palestina, melukai 156 ribu lainnya, serta memaksa hampir seluruh penduduk Gaza mengungsi. Laporan juga menyebut 269 orang meninggal akibat kelaparan, termasuk 112 anak-anak.

Kondisi ini menyingkap sebuah pola: penghancuran bukan sekadar melalui serangan udara atau darat, melainkan juga melalui penyangkalan hak hidup dasar, tempat berteduh, makanan, dan rasa aman. Setiap hari yang berlalu tanpa tindakan internasional, berarti semakin dalam Gaza terperosok ke dalam tragedi yang oleh banyak pengamat disebut sebagai salah satu bencana kemanusiaan terburuk sejak Perang Dunia II.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here