Hanya sehari setelah penandatanganan perjanjian penghentian agresi di Jalur Gaza, Israel kembali melanggar kesepakatan. Dengan dalih Hamas tidak menyerahkan jenazah tawanan Israel yang telah disepakati, Tel Aviv memulai kembali operasi militernya dan menekan isi perjanjian.

Tak hanya itu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump ikut memperkeruh situasi dengan mengancam penggunaan kekerasan untuk melucuti senjata kelompok perlawanan Palestina.

Israel Langgar Kesepakatan, Rafah Ditutup

Dalam langkah pertama yang dianggap sebagai kemunduran dari perjanjian, Israel menewaskan tujuh warga Palestina di Gaza. Otoritas pendudukan juga mengumumkan penutupan Perbatasan Rafah mulai Rabu, serta hanya mengizinkan masuk 300 truk bantuan, setengah dari yang telah disepakati sebelumnya.

Israel juga memberi tahu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa gas dan bahan bakar hanya akan diizinkan masuk dalam jumlah terbatas ke Jalur Gaza. Tekanan pun datang dari kelompok keluarga tawanan Israel yang mendesak pemerintah membekukan tahap lanjutan perjanjian sampai jenazah tawanan dikembalikan.

Surat kabar Yedioth Ahronoth mengutip pejabat Israel yang menyatakan, gagalnya pengembalian jenazah dapat membatalkan seluruh perjanjian.

Namun perkembangan paling mencolok datang dari Washington. Trump menegaskan fase kedua perjanjian telah dimulai, dan menyampaikan pejabat senior AS telah memberi tahu Hamas bahwa pelucutan senjata harus dilakukan dengan cepat, atau akan dipaksakan dengan kekerasan.

Ancaman tersebut menimbulkan keraguan besar terhadap masa depan perjanjian yang disusun selama berbulan-bulan, dan baru tercapai setelah puluhan ribu warga sipil gugur dan Gaza luluh lantak oleh serangan Israel.

Analis: Ini Tekanan Politik, Bukan Kenyataan

Pengamat politik Palestina Dr. Iyad al-Qarra memandang ancaman Trump hanyalah retorika politik untuk menyenangkan Israel.

“Trump sudah biasa mengumbar ancaman lalu meredamnya kembali. Ia sendiri pernah mengatakan bahwa senjata perlawanan bukan ancaman, kecuali jika digunakan oleh kelompok kriminal,” kata al-Qarra.

Ia menjelaskan bahwa fase kedua yang dimaksud AS mencakup penarikan pasukan Israel, rekonstruksi Gaza, dan pembentukan otoritas administratif sementara di Gaza. Karena itu, ia menilai Washington dan Tel Aviv tidak bisa hanya memaksa isu pelucutan senjata, sementara poin lain dikesampingkan.

Menurut al-Qarra, Hamas telah mengaitkan isu senjata dengan perundingan jangka panjang, bukan menyerah begitu saja. “Tidak ada faksi perlawanan yang akan menyerahkan senjata selama pendudukan masih berlangsung, baik di Gaza maupun di seluruh Palestina,” tegasnya.

Eks Pejabat AS: Ini Tantangan Terbesar dalam Perjanjian

Mantan penasihat keamanan nasional AS Michael Fievel mengungkapkan bahwa poin keenam perjanjian memang berbicara tentang pelucutan senjata Hamas dengan imbalan jaminan keamanan untuk para anggotanya. Namun ia menegaskan, ini adalah tantangan terbesar bagi para mediator.

Perjanjian itu, menurutnya, juga tidak menyebutkan ke mana para anggota Hamas akan dipindahkan jika mereka menyerahkan senjatanya, serta tidak ada jaminan keselamatan bagi mereka.

“Israel sudah memastikan, Hamas tidak akan aman di negara mana pun,” katanya.

Tekanan Internasional Akan Meningkat

Pengamat politik Universitas Birzeit Dr. Ghassan Khatib menilai ancaman Trump adalah bagian dari tekanan diplomatik agar Hamas menerima seluruh isi perjanjian, bukan hanya dua poin yang telah disetujuinya: pertukaran tawanan dan pemerintahan teknokrat di Gaza.

“Tekanan akan meningkat, termasuk melalui perang psikologis dan pengurangan bantuan internasional ke Gaza. Bahkan tidak menutup kemungkinan Israel kembali melakukan serangan terbatas,” katanya.

Israel Siapkan 3 Skenario

Sementara itu, pakar urusan Israel Dr. Muhannad Mustafa menegaskan Israel tidak akan mundur dari tujuan utamanya: pelucutan senjata perlawanan di Gaza.

Menurutnya, Israel menyiapkan tiga skenario:

  1. Gaza dibagi dua: Hamas menguasai separuh wilayah, Israel tetap menduduki separuh lainnya. Dalam kondisi ini Hamas bisa membangun kekuatannya kembali.
  2. Pelucutan senjata secara paksa lewat tekanan internasional.
  3. Pembentukan pemerintahan sipil di Gaza tanpa pelucutan senjata, skenario yang paling ditakuti Israel karena akan memperkuat legitimasi Hamas.

Mustafa menyebut, pengurangan bantuan kemanusiaan ke Gaza saat ini adalah pesan keras, “Israel tidak akan bernegosiasi soal pelucutan senjata. Itu adalah garis merah mereka.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here