Saat tayangan bantuan udara ke Gaza disiarkan berulang-ulang di layar kaca, dunia disuguhi ilusi kemanusiaan. Namun di balik layar propaganda itu, realitas di Gaza tetap tak berubah: anak-anak rebah kelaparan, ibu-ibu menggenggam anaknya yang kian membiru, dan kematian hadir tak mengenal jeda.

Inilah paradoks yang ditelanjangi pengamat politik Ahmad Al-Hilah: “Israel tak sungguh-sungguh berniat meredakan derita Gaza. Bantuan udara hanyalah sandiwara untuk mendinginkan amarah dunia.”

Menurutnya, Tel Aviv menggunakan apa yang disebut “diplomasi kemanusiaan” sebagai alat politik. Tujuannya bukan untuk menyelamatkan nyawa, melainkan untuk meredam tekanan internasional yang terus meningkat, terutama setelah tudingan genosida semakin nyaring terdengar.

Padahal, jika dibandingkan dengan kebutuhan riil Gaza (ratusan truk bantuan per hari) bantuan udara yang dijatuhkan dari langit hanyalah “tetesan fatamorgana”. Tidak cukup. Tidak terjangkau. Dan sering kali jatuh ke wilayah yang dikuasai pasukan pendudukan.

Politik Citra di Tengah Derita

Dr. Bilal Al-Shubaki, pakar isu Israel, menyebut langkah ini sebagai strategi “gambar dibalas gambar”. Dunia melihat kelaparan, maka Israel menayangkan kepeduliannya dari udara. “Tapi pesan terselubungnya jelas,” ujarnya. “Israel ingin menunjukkan bahwa kendali tetap di tangan mereka, dan mereka hanya mau bicara soal Gaza jika menyangkut barter tahanan, bukan soal mengangkat blokade atau mengembalikan kehidupan.”

Bantuan pun berubah menjadi senjata taktis: dipakai saat tekanan memuncak, ditarik saat sudah tak dibutuhkan lagi.

Kemunafikan Amerika

Dua wajah juga tampak di Washington. Presiden Donald Trump bersuara prihatin soal kelaparan di Gaza, tapi tak ada langkah nyata untuk membuka aliran bantuan. Mantan Duta Besar AS Peter Galbraith bahkan menyebut AS di bawah Trump “berperilaku tanpa arah”. Hari ini mengakui kelaparan, esok meragukannya.

Menurut Galbraith, bantuan udara adalah langkah sia-sia (bahkan cenderung sinis) selagi ribuan ton logistik tertahan di perbatasan tertutup. Ia menuding Israel sepenuhnya bertanggung jawab atas krisis ini karena menolak kerja sama dengan PBB dan melarang petugas kemanusiaan masuk Gaza.

Dan saat AS bersikukuh mencegah PBB menangani distribusi bantuan, terbentuklah koalisi diam-diam yang memperkuat politik kelaparan sebagai instrumen tekanan.

Perubahan di Akar Rumput Barat

Namun di tengah kelumpuhan moral para elite, tanda-tanda perubahan muncul dari bawah. Seperti disampaikan Al-Shubaki, gelombang simpati terhadap Gaza di dunia Barat mulai tumbuh menjadi opini publik yang stabil, bukan sekadar amukan sesaat. Hal ini bisa berdampak pada formasi politik masa depan di negara-negara yang selama ini mendukung Israel.

Sayangnya, perubahan ini belum diiringi oleh narasi terkoordinasi dari dunia Arab maupun Palestina sendiri. Tanpa kerangka yang kuat, simpati akan kembali membubung sebagai kabut harapan yang mudah menguap.

Retaknya Narasi Resmi Israel

Laporan-laporan PBB dan kelompok HAM kini mulai menembus tembok diam di dalam Israel. Bahkan lembaga HAM Israel sendiri, B’Tselem, menyebut apa yang terjadi di Gaza sebagai “genosida”, sebuah pengakuan yang mengejutkan, sekaligus mencerminkan retaknya legitimasi moral dalam masyarakat Israel sendiri.

Galbraith menilai, pengakuan ini menjadi pukulan etis terhadap narasi resmi Israel dan memperkuat legitimasi tuntutan internasional atas kejahatan perang yang dilakukan.

Namun, keadilan tetap tertahan. Meskipun Mahkamah Pidana Internasional sudah mengeluarkan surat penangkapan terhadap PM Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan-nya, pelaksanaan hukum tak kunjung tiba.

Ahmad Al-Hilah menyebut bahwa perlindungan politik dari Amerika Serikat membuat Netanyahu tak tersentuh. Bahkan Kongres AS tengah mempertimbangkan sanksi terhadap hakim ICC. “Inilah bukti bahwa Washington telah keluar dari jalur keadilan, dan menjadikan Israel sebagai negara di atas hukum,” ujarnya.

Akhirnya, Pertanyaan Tak Terhindarkan

Apakah bantuan itu sungguh demi menyelamatkan rakyat Gaza? Ataukah hanya kedok untuk memperpanjang penderitaan?

Selama pembunuhan berlangsung setiap hari, jawaban makin jelas. Al-Shubaki menyimpulkan, elite Israel tak peduli dengan reputasi. Mereka yakin: tujuan perang membenarkan segalanya, termasuk mengatur kelaparan sebagai taktik politik.

Dengan demikian, yang disebut “diplomasi kemanusiaan” hari ini bukan lagi cermin nilai moral atau hukum internasional. Ia telah menjelma menjadi topeng lembut bagi mesin perang yang tanpa ampun menghancurkan Gaza.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here