Pakar militer dan strategi, Brigjen Hassan Jouni, menegaskan bahwa operasi perlawanan di Gaza Utara menegaskan dua poin penting: kehadiran pejuang Palestina yang masih nyata di seluruh sektor, serta kemampuan mereka bermanuver dan menyerang secara efektif.
Dalam analisis militernya, Jouni menekankan bahwa operasi serentak dan serangan gabungan yang dilakukan di Shujaiya dan Khan Younis membuktikan bahwa para pejuang masih memiliki kebebasan gerak dan pengendalian medan di Gaza.
Media Israel sendiri mengakui pada Rabu (3/7) bahwa beberapa tentaranya tewas dan terluka dalam dua “insiden keamanan besar” di Gaza. Sayap militer Jihad Islam, Brigade Al-Quds, mengumumkan telah melakukan operasi gabungan yang menargetkan puluhan tentara di lingkungan Shujaiya. Media Israel melaporkan adanya korban jiwa di kalangan tentara, termasuk seorang prajurit dari unit khusus Egoz yang tewas akibat tembakan sniper.
Menurut Jouni, tujuan utama operasi perlawanan ini adalah mencegah pendudukan Israel menguasai wilayah yang coba mereka duduki. “Mereka mungkin bisa menduduki wilayah, seperti yang diklaim oleh Kepala Staf Israel yang menyebut sudah menduduki 75% Gaza, tapi itu tidak berarti mereka mampu menguasainya atau menstabilkan wilayah,” tegas Jouni.
Terkait pola operasi, Jouni menjelaskan bahwa perlawanan sengaja melakukan variasi target (baik di utara, selatan, hingga timur Gaza) serta memadukan berbagai taktik: sniper, jebakan ranjau, serangan roket, hingga serangan mendadak jarak dekat.
Ia menyoroti operasi “kompleks” yang dilakukan, di mana para pejuang menguasai situasi pertempuran secara temporer dalam beberapa tahap berkelanjutan. Ini menunjukkan kemampuan mereka membaca pergerakan musuh secara detail, menyiapkan jebakan, serta merancang serangan yang menyesuaikan reaksi pasukan Israel.
Serangan Gabungan Mengejutkan
Pada hari yang sama, media Al-Aqsa melaporkan bahwa sejumlah tentara Israel dievakuasi akibat “insiden keamanan” di timur Kota Gaza. Brigade Al-Quds menjelaskan bahwa serangan mereka dimulai dengan meledakkan ladang ranjau, memaksa tentara Israel masuk ke rumah-rumah warga. Para pejuang kemudian menghantam mereka dengan rudal anti-tank berpandu dan granat RPG, lalu menyerbu dari jarak dekat dengan senjata ringan dan sedang. Hasilnya, puluhan tentara dan perwira Israel dilaporkan tewas dan terluka dalam penyergapan jarak dekat tersebut.
Jouni menilai bahwa reaksi pasukan Israel yang langsung berlindung ke rumah-rumah usai ledakan menunjukkan minimnya tekad bertempur. “Jika pasukan benar-benar punya tekad, mereka seharusnya menghadapi sumber tembakan, bukan malah lari bersembunyi dan justru terjebak di perangkap pejuang,” ujarnya.
Ia menambahkan, pola serangan gabungan ini adalah indikasi keunggulan taktis di lapangan, meski bersifat sementara. Menurut Jouni, kehadiran militer Israel di Gaza akan terus terjebak dalam perang attrisi (pengurasan tenaga dan sumber daya) jika perang berlanjut dalam jangka panjang.
Data terbaru dari surat kabar Yedioth Ahronoth mencatat bahwa Juni lalu merupakan bulan dengan kerugian terbesar bagi Israel sejak awal 2024, dengan 20 tentara tewas hanya dalam sebulan.
Secara total, Israel mengakui 880 tentaranya tewas sejak 7 Oktober 2023, termasuk 438 orang sejak dimulainya operasi darat di Gaza, dan 30 tentara sejak Israel kembali meningkatkan agresinya pada 19 Maret 2024.
Sumber: Al Jazeera