“Sedikit ruang, banyak kerugian.” Itulah strategi yang kini dijalankan para pejuang di Gaza dalam menghadapi upaya brutal militer Israel menguasai 75 persen wilayah Gaza. Menurut analis militer dan strategi, Elias Hanna, ini bukan sekadar perlawanan biasa—melainkan manuver cerdas dengan nama: “ruang demi waktu.”
Alih-alih bertahan di setiap jengkal tanah, strategi ini justru merelakan sedikit wilayah… demi satu tujuan besar: menguras kekuatan dan moral tentara Israel sebanyak mungkin, sambil menunggu perubahan politik yang bisa mengubah arah pertempuran.
Mengubah Medan Perang Menjadi Perang Urat Syaraf
Hanna menegaskan, taktik ini membuat pertempuran berubah bentuk: dari perang tradisional menjadi perang kelelahan jangka panjang.
Pejuang Palestina kini menghindari skenario “pusat komando tunggal” yang mudah dihancurkan. Sebaliknya, kekuatan mereka tersebar dan berlapis—meski kehilangan satu pemimpin, perlawanan terus berjalan.
Inilah yang menjelaskan kenapa meski Israel membombardir dan menargetkan para komandan, perlawanan tak kunjung padam. Menurut Hanna, ini serupa dengan konsep “perang gerilya modern” yang berbasis pada distribusi peran dan kemampuan secara merata.
Contohnya? Operasi militer di Beit Hanoun, Shujaiya, dan Khan Younis—semua hanya berjarak ratusan meter dari markas penting militer Israel—membuktikan efektivitas strategi ini.
Angka yang Mengkhawatirkan bagi Israel
Hanna mengungkapkan fakta mencengangkan: sejak Maret lalu, Israel telah meluncurkan 2.900 serangan udara di Gaza. Namun, hasilnya jauh dari harapan.
Tak hanya itu, jumlah pasukan cadangan yang dikerahkan membengkak jadi 450.000 orang—lebih dari dua kali lipat jumlah tentara aktif yang hanya 190.000.
Apa artinya? Strategi awal Israel gagal total. Mereka kini terjebak dalam konflik panjang yang memaksa mereka menguras tenaga, anggaran, dan moral pasukan.
Tekanan Tak Lagi Sekadar Militer
Beban ini tak berhenti di medan perang. Hanna menjelaskan, efek strategi “ruang demi waktu” menjalar ke ekonomi, psikologi, dan sosial.
- Secara ekonomi: biaya membengkak drastis. Masa dinas yang semula 37 hari kini diperpanjang menjadi 187 hari, bahkan ada kasus hingga 500 hari. Ini tekanan besar bagi anggaran negara dan dunia kerja.
- Secara psikologis dan sosial: tentara mulai kehilangan pekerjaan, tempat tinggal, dan masa depan yang jelas. Bertempur tanpa tahu kapan akan pulang menimbulkan luka batin yang mendalam—dan ini mulai menggerogoti semangat tempur mereka.
Retaknya Mitos “Tentara Bermoral”
Di tengah kerugian ini, muncul masalah lain yang lebih dalam: krisis kepercayaan.
Menurut Hanna, militer Israel berulang kali mengklaim menggunakan senjata “presisi tinggi” dan data intelijen yang akurat. Tapi di lapangan, yang terjadi justru kesalahan fatal dan korban sipil.
Ketidaksesuaian antara narasi dan realita ini bukan hanya merusak citra Israel di dunia internasional, tapi juga menggoyahkan kepercayaan rakyatnya sendiri terhadap strategi dan komando militer.
Yang paling krusial, tegas Hanna, adalah keretakan pada narasi “tentara paling bermoral di dunia” yang kerap digaungkan Israel. Korban sipil, kehancuran infrastruktur, dan kesalahan serangan telah menjungkirbalikkan mitos itu di mata dunia.