Empat warga Palestina gugur syahid dan enam lainnya terluka akibat serangan Israel di berbagai wilayah Gaza pada Ahad (2/3/2025). Dengan demikian, total korban sejak pengumuman gencatan senjata dengan Israel mencapai 116 syahid dan lebih dari 490 orang terluka.
Kementerian Kesehatan Gaza dalam pernyataan singkatnya menyebutkan, “Sejak pagi ini, empat syahid dan enam korban luka telah dibawa ke rumah sakit di Gaza akibat serangan Israel di berbagai wilayah.”
Dalam unggahan di Telegram, kementerian itu mengonfirmasi bahwa sejak dimulainya gencatan senjata pada 19 Januari lalu, jumlah korban mencapai 116 syahid dan lebih dari 490 orang terluka.
Seorang koresponden melaporkan bahwa seorang wanita Palestina gugur dan seorang lainnya terluka akibat serangan drone Israel di kota Abasan al-Kabira, timur Khan Younis, Gaza selatan.
Di Rafah timur, seorang wanita Palestina terluka akibat serangan tank Israel di lingkungan al-Jeneina, sementara sejumlah warga lainnya menjadi korban dalam serangan terhadap sebuah apartemen di Tel al-Sultan, Rafah barat.
Di Gaza utara, sumber medis melaporkan bahwa dua pemuda Palestina gugur dan satu lainnya terluka akibat serangan udara Israel di lingkungan al-Masriyeen, Beit Hanoun.
Sementara itu, tim pertahanan sipil Gaza mengumumkan adanya serangan artileri Israel di timur Khan Younis.
Dalam pernyataannya, mereka menyebutkan bahwa “serangan artileri dan tembakan tank Israel menyasar daerah perbatasan di Abasan al-Kabira, timur Khan Younis.”
Di sisi lain, juru bicara militer Israel membantah adanya serangan di wilayah tersebut dan mengatakan, “Setelah pemeriksaan, kami tidak mengetahui adanya serangan di daerah itu.”
Namun, militer Israel dalam pernyataannya di Telegram menyebutkan bahwa mereka menyerang “sejumlah tersangka” di Gaza.
Mereka mengklaim telah mengidentifikasi sekelompok orang yang diduga sedang menanam bom di dekat posisi pasukan Israel di Gaza utara, lalu menyerang mereka dengan serangan udara.
Sesuai kesepakatan, negosiasi tahap kedua gencatan senjata seharusnya dimulai pada 3 Februari lalu. Namun, Israel memberlakukan syarat baru yang menghambat proses ini.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu disebut ingin memperpanjang tahap pertama demi membebaskan lebih banyak tawanan Israel yang masih hidup.