Puluhan ribu warga Prancis memadati Place de la République di jantung kota Paris pada Ahad (25/5), menyuarakan kemarahan atas genosida yang terus berlangsung di Jalur Gaza. Seruan ini datang dari partai oposisi La France Insoumise (Prancis Tak Tunduk), organisasi sipil pro-Palestina, hingga kelompok mahasiswa yang bersatu dalam satu tuntutan: hentikan perang, lindungi warga Gaza, dan jatuhkan sanksi nyata terhadap Israel.
Aksi ini bukan yang pertama. Sehari sebelumnya, Sabtu (24/5), unjuk rasa serupa juga mengguncang ibukota Prancis. Wartawan Al Jazeera, Nouredine Buziane, melaporkan bahwa massa mengusung berbagai slogan:
“Hentikan Genosida”, “Izinkan Truk Bantuan Masuk Gaza”, “Perlawanan adalah Hak yang Sah”, dan “Pendudukan Adalah Kejahatan Israel”.
Respons Presiden Emmanuel Macron dan Kementerian Luar Negeri Prancis yang sebelumnya sempat mengisyaratkan kemungkinan tekanan terhadap Israel—jika perang dan blokade tidak dihentikan—justru memicu kekecewaan luas. Para demonstran menyebut pernyataan itu tak lebih dari omong kosong diplomatik.
“Kami tak butuh janji kosong. Kami butuh tindakan nyata,” seru para demonstran. Mereka menuntut pemerintah Prancis:
- menghentikan pengiriman senjata ke Israel,
- menarik duta besar dari Tel Aviv,
- dan memimpin desakan agar Uni Eropa mengkaji ulang semua bentuk kerja sama dengan Israel.
Aksi ini mencerminkan kemarahan rakyat yang tak lagi bisa dibendung terhadap keterlibatan negara-negara Barat dalam pembiaran terhadap kejahatan perang di Gaza.
Sejak 7 Oktober 2023, Israel — dengan dukungan penuh Amerika Serikat — melancarkan perang pemusnahan terhadap Gaza. Lebih dari *176.000 warga Palestina gugur atau terluka, mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. Tak kurang dari *11.000 orang masih hilang di bawah reruntuhan.
Pemerintahan Benjamin Netanyahu terus menggencarkan serangan, baik lewat bombardir, invasi darat, hingga pengepungan kelaparan dengan menutup akses bantuan kemanusiaan. Dunia menyaksikan, tetapi rakyat Prancis bersuara.
Sumber: Al Jazeera