Di ruang perawatan Rumah Sakit Nasser, Khan Younis, seorang balita bernama Miyar terbaring lemah. Usianya baru satu setengah tahun, tapi tubuhnya sudah dihantam ganasnya kelaparan dan penyakit. Dari berat 12 kilogram, kini Miyar hanya tinggal 6,9 kilogram saja—akibat malnutrisi akut dan alergi terhadap gandum, di tengah blokade yang melumpuhkan Gaza selama lebih dari 80 hari.

Tak Bisa Bicara, Tak Bisa Berdiri
Keluarga Miyar terpaksa mengungsi dari Rafah ke Khan Younis, dan sejak itu, kondisi Miyar memburuk drastis. Ia tak lagi mampu berjalan, apalagi mengeluarkan suara. Tubuhnya yang ringkih kini menjadi bukti bisu dari bencana kemanusiaan yang terus memburuk.

Ibunya, Asma’ Al-Arja, menuturkan bahwa sudah lebih dari empat bulan anaknya tidak menyantap makanan bergizi.

Susu khusus yang ia butuhkan tak tersedia, protein dan vitamin langka, bahkan telur, ikan, atau produk susu pun mustahil ditemukan. Sayur dan buah hanya jadi angan di tengah penderitaan.

Kematian Diam-Diam Karena Lapar
Data dari Kantor Media Pemerintah Gaza mencatat, sedikitnya 57 warga Palestina—mayoritas anak-anak—meninggal dunia akibat kelaparan sejak 7 Oktober 2023. Sebanyak 65 ribu anak kini terancam mengalami malnutrisi akut yang dapat berujung kematian.

Tenaga kesehatan memperingatkan, kekurangan gizi pada ibu hamil memicu lonjakan kelahiran bayi dengan cacat bawaan.
Anak-anak yang selamat pun tak luput dari dampak serius: infeksi usus, kelemahan otot parah, serta keterlambatan tumbuh kembang baik secara fisik maupun mental.

Krisis di Tengah Keterbatasan
Di tengah derasnya lonjakan kasus, rumah sakit seperti Nasser kewalahan menangani pasien dengan peralatan dan pasokan medis yang sangat terbatas. Para dokter menyebut, kasus seperti Miyar kini bukan pengecualian—melainkan kenyataan yang menimpa ratusan anak di Gaza.

Tubuh kecil Miyar yang nyaris tak bersuara itu kini menyampaikan jeritan paling nyaring: bahwa dunia sedang membiarkan satu generasi perlahan-lahan kelaparan hingga binasa.
Sumber: Al Jazeera, Anadolu Agency