Teroris Israel kembali menunjukkan kekejaman sistematisnya. Kali ini, ratusan pasien kanker di Gaza dibiarkan menunggu maut tanpa akses pengobatan. Laporan terbaru dari Palestinian Center for Human Rights (PCHR) menyebut ini sebagai bentuk genosida yang lambat dan disengaja.

Dalam laporan bertajuk The Deadly Wait yang dirilis oleh Days of Palestine, dijelaskan bagaimana kehancuran total Rumah Sakit Persahabatan Turki—satu-satunya rumah sakit kanker di Gaza—pada Maret 2025, berdampak langsung pada lebih dari 12.500 pasien kanker yang kini kehilangan harapan untuk sembuh.

Lebih dari 91% pasien ditolak untuk keluar dari Gaza demi menjalani perawatan. Yang tersisa, hanya bisa menunggu giliran ajal di tenda pengungsian. Dalam 18 bulan terakhir, ratusan pasien telah gugur. Saat ini, setidaknya 2.700 orang berada dalam kondisi kritis dan terjebak tanpa arah.

Lebih tragis lagi, lebih dari 85% obat kanker kini tidak tersedia. Persediaan medis benar-benar lumpuh. Laporan itu menyebut ini sebagai kelalaian disengaja yang menyebabkan penderitaan fisik dan mental luar biasa.

Hanya sekitar 1.100 pasien yang berhasil keluar untuk berobat—kebanyakan perempuan dan anak-anak. Fakta ini menunjukkan bagaimana Israel menjadikan akses kesehatan sebagai senjata untuk menghukum seluruh populasi Gaza.

Bukan hanya pengobatan yang dibatasi, pasien bahkan harus tinggal di tenda-tenda darurat yang penuh sesak setelah berulang kali terusir dari rumah mereka. Banyak yang akhirnya menyerah mencari perawatan medis karena kondisi tempat tinggal yang tidak layak dan akses yang nyaris mustahil.

PCHR mengecam kebijakan Israel soal “prosedur perjalanan steril” yang memaksa pasien untuk mendapat izin keamanan, tanpa jaminan mereka akan bisa kembali. Sebuah taktik keji yang menurut PCHR setara dengan pemindahan paksa—dan itu adalah kejahatan perang menurut hukum internasional.

Lembaga itu kini mendesak masyarakat internasional untuk segera bertindak menyelamatkan pasien dan menyeret Israel ke pengadilan atas kejahatan terhadap kemanusiaan.

Air Jadi Barang Mewah di Gaza, Warga Hidup dari Tetesan ke Tetesan
Perang yang telah berlangsung selama 20 bulan bukan hanya membunuh dengan peluru dan bom. Di Gaza, kelangsungan hidup kini dipertaruhkan hanya demi seteguk air bersih.

Bagi para pengungsi di kamp-kamp sementara, air bukan lagi kebutuhan dasar—tapi menjadi pertarungan harian yang mematikan. “Kami dulu sering mendapat air dari truk bantuan, apalagi saat masa gencatan senjata,” ujar Abu Aziz, pengungsi dari Rafah yang kini tinggal di Deir al-Balah. “Tapi sekarang, truk-truk itu hampir tidak pernah datang.”

Bahkan warga yang masih tinggal di rumah mereka juga mengalami nasib serupa. Kekurangan bahan bakar telah melumpuhkan sistem distribusi air. Sejak awal Maret 2025, Israel kembali menutup semua jalur penyeberangan, memperparah krisis air yang sudah kronis.

Namun, krisis air di Gaza bukan cerita baru. Blokade selama bertahun-tahun, pertumbuhan penduduk, dan kerusakan infrastruktur telah menghancurkan sistem air di wilayah itu. Sebelum perang pun, 97% air tanah sudah tak layak minum menurut Otoritas Air Palestina.

Kini situasinya makin mengerikan. Laporan PBB menyebut, sebagian besar pabrik desalinasi, sumur, dan tangki air telah hancur, terutama di Gaza bagian utara dan tengah. Rata-rata, warga hanya bertahan dengan 3–5 liter air per hari—jauh dari batas darurat WHO yang minimal 15 liter.

Oxfam mencatat penurunan akses air sebesar 94% per kapita. Limbah mulai membanjiri permukiman, memicu kekhawatiran akan wabah penyakit menular. Infrastruktur air Gaza kini 85% tak bisa digunakan lagi.

Lembaga-lembaga kemanusiaan mendesak dunia untuk segera turun tangan. Blokade harus diakhiri, para pekerja air harus dilindungi, dan pasokan harus segera dikirim sebelum terlambat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here