Oleh: Ustaz Asep Sobari, Lc (Pendiri Sirah Community Indonesia)
Dinasti Bani Umayyah berdiri berdiri pada tahun 41 H\661 M berlangsung hingga pada tahun 132 H\ 750 M. Selama masa kekhalifaan Bani Umayaah, internal diwarnai masa-masa stabil secara politik dan masa gejolak. Masa gejolak itu terbilang memakan waktu yang cukup panjang. Terutama pada masa transisi kekuasaan dari Muawiyah bin Abu Sofyan ke Yazid bin Muawiyah pada tahun 61 H atau 62 H.
Dinasti Bani Umayyah memasuki masa stabil pada Khalifah Suilaiman bin Abdul Malik sampai pada masa Umar bin Abdul Aziz. Masa stabil itu berlangsung sekitar 3-4 tahun saja. Setelah itu, internal kembali bergejolak sampai keruntuhan bani Umayyah pada tahun 132 H.
Gejolak-gejolak di tengah umat Islam pada masa itu sedikit berdampak pada kondisi Baitul Maqdis, baik dari sisi perhatian para penguasa maupun kaum muslimin. Secara emosional, Baitul Maqdis dan kaum muslimin memiliki hubungan erat yang sangat kuat. Namun faktanya, Baitul Maqdis tidak pernah menjadi pusat pemerintahan atau pusat administrasi pemerintahan.
Hal itu bukan berarti berdampak negatif pada kota suci tersebut. Tentu ada hikmah dari Allah SWT mengapa Baitul Maqdis secara administrasi tidak pernah menjadi pusat pemerintahan. Salah satu pertimbangannya adalah letak geografis Baitul Maqdis. Secara geografis, Baitul Maqdis memang tidak pas menjadi pusat pemerintahan.
Selain itu, ada kaitan erat dengan gejolak yang terjadi di tengah umat Islam. Baitul Maqdis tidak memiliki kekuatan hukum seketat Masjid Haram dan Masjid Nabawi atau Madinah dan Makkah. Dengan begitu, Baitul Maqdis terlepas dari dampak-dampak terkait gejolak politik pada masa Bani Umayyah. Ini karena kota suci itu tidak menjadi pusat pemerintahan. Sehingga kota Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW itu relatif lebih tenang dan aman. Kemudian secara emosional masih terjaga dengan baik. Ini adalah salah satu hikmah yang harus dicatat dengan baik.
Kendati begitu, Sulaiman bin Abdul Malik sebenarnyar pernah memiliki rencana untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Damaskus di Suriah ke Baitul Maqdis di Syam. Namun rencana itu batal. Ada banyak pertimbangan sehingga rencana tersebut diurungkan.
Sulaiman bin Abdul Malik memang membutuhkan aspek emosional untuk mendapatkan legitimasi kuat tentang kekuasaannya dengan menjadikan Baitul Maqdis sebagai pusat pemerintahan. Hanya saja, dari aspek teknis dan administrasi tidak mudah, sehingga ia membatalkan rencana tersebut.
Dengan batalnya rencana itu, Baitul Maqdis sama sekali tidak terdampak langsung dari gejolak di internal Bani Umayah. Sebab, gejolak yang terjadi di dalam istana terkadang melampui batas. Sehingga kesucian Baitul Maqdis sebagai tanah yang diberkahi terjaga. Ini adalah salah satu hikmah yang sangat menonjol.
Baitul Maqdis Bagi Khilafah Bani Umayyah
Selain aspek politik dan administrasi, Baitul Maqdis juga dianggap sebagai kota yang memiliki nilai sakral bagi kaum muslimin. Begitu juga dengan para khalifah Bani Umayyah, Baitul Maqdis memiliki tempat khusus dalam hati mereka. Salah satu buktinya adalah Muawiyah bin Abu Sofyan setelah mendapat mandat khalifah dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Ia membaiat dirinya sebagai khalifah di Baitul Maqdis. Padahal, pusat pemerintahan Bani Umayah adalam Damaskus di Suriah.
Keputusan Muawiyah bin Abu Sofyan itu merupakan salah satu bentuk penghargaan beliau kepada Baitul Maqdis. Dia menjadikan kota suci sebagai titik tolak dari masa pemerintahannya. Tentu hal itu mendapat tempat khusus di dalam hati kaum muslimin kala itu. Sebab di Syam, tidak ada tempat yang lebih menggugah emosional umat Islam selain Baitul Maqdis. Di Hijaz ada Makkah dan Madinah, di Syam ada Baitul Maqdis.
Tak hanya Muawiyah yang mengadakan pembaiatan di Baitul Maqdis. Tercatat khalifah Abdul Malik bin Marwan juga membaiat dirinya di kota suci itu. Setelah mendapat mandat khalifah dari ayahnya, Marwan bin Al-Hakam, dia memulai pemerintahannya dengan mengambil pembaiatan di Baitul Maqdis. Hal serupa dilakukan oleh Sulaiman bin Abdul Malik.
Saat Al-Walid bin Abdul Malik meninggal dunia, Sulaiman bin Abdul Malik tengah mengatur pasukannya untuk menaklukkan Konstatinopel di Balqa. Dalam proses intensif Bani Umayyah itu, Sulaiman mendapat kabar bahwa ayahnya meninggal dunia. Dia lalu mengatur keberangkatan ke Baitul Maqdis. Orang yang membawa surat resmi langsung diarahkan ke Baitul Maqdis. Di kota suci itu, beliau melakukan pembaiatan. Deretan catatan sejarah itu menunjukkan bahwa Baitul Maqdis memiliki ikatan emosional sangat erat dengan kaum muslimin.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga tercatat berulang kali berkunjung ke Baitul Maqdis. Padahal masa pemerintahan beliau sangat pendek, hanya 2,5 tahun, dan mewarisi sederet masalah khalifah-khalifah Bani Umayyah sebelumnya. Namun di tengah kesibukannya itu, beliau selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke Baitul Maqdis. Kota suci itu menjadi tempat untuk menenangkan hati.
Kondisi Fisik Baitul Maqdis pada Masa Bani Umayyah
Era Bani Umayah juga mencatat banyak kemajuan dalam berbagai bidang, seperti perekonomian, sains, seni, dan arsitektur. Perluasan wilayah kekuasaan Islam dilakukan ke timur, utara, dan barat. Setidaknya ada tiga Peninggalan pada masa pemerintahan Bani Umayyah di antaranya, Masjid Kubah Batu atau Kubah Shakhrah atau Dome of the Rock. Bangunan itu dibangun dibangun pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik dan putranya, Al Walid.
Kubah Shakhrah mulai dibangun pada 687 M. Biaya pembangunan mencapai tujuh kali pemasukan pajak tahunan dari Mesir. Kaligrafi Kufi ditambahkan di bagian dalam kubah. Arsitektur dan mosaiknya mengikuti pola gereja dan istana Romawi. Dua teknisi yang bertanggung jawab atas proyek tersebut adalah Raja bin Haywah, seorang ulama dari Beit She’an, dan Yazid bin Salam, Muslim non-Arab asli Alo-Quds. Strukturnya berbentuk segi delapan dengan diameter kubahnya sekitar 20 meter.
Hal itu merupakan periode pembangunan fisik dari peradaban Islam pada masa Bani Umayyah. Jika berbicarta fase perkembangan peradaban Islam, maka fase Khulafaur Rasyidin adalah fase ruh. Sementara pada masa Bani Umayyah peradaban Islam dari sisi materi atau fisik berkembang pesat. Misalnya Abdul Malik bin Marwan, Sulaiman bin Marwan, dan Al-Walid bin Abdul Malik dikenal sebagai khalifah yang gemar membangun bangunan berbagai macam.
Namun secara umum, mereka tidak sekedar membangun bangunan yang hanya bersifat mercusuar. Mereka menonjolkan sisi manfaat dan fungsi bangunan tersebut.
Satu hal yang harus diketahui, di sekitar Baitul Maqdis terdapat peninggalan orang Nasrani. Bangunan itu dibuat dengan arsitektur, design, dan seni yang tidak sederhana. Maka Abdul Malik bin Marwan ingin menunjukkan bahwa umat Islam mampu membuat bangunan dengan arsitektur bernilai seni tinggi.
Catatan Pelancong Nasrani tentang Baitul Maqdis
Kondisi Baitul Maqdis pada masa Bani Umayyah ini sempat dicatat dari seorang penjelajah dari Eropa, Arkruf. Ia adalah seorang pendeta Nasrani dari Perancis. Dia berkunjung ke Baitul Maqdis pada tahun 60 H, atau sekitar 40 tahun setelah Umar bin Khattab menerima kunci kota suci tersebut dan menandatangani perjanjian dengan petinggi gereja kala itu. Tak hanya perjanjian, tapi ada komitmen kuat dari kaum muslimin untuk mengamalkan isi perjanjian tersebut. Di mana poin penting dari perjanjian itu adalah tolernasi beragama. Umat Nasrani sama sekali tidak dilarang untuk berkunjung ke Baitul Maqdis.
Menurut kesaksian Arkruf, tamnpak sekali geliat kunjungan orang-orang Nasrani ke Baitul Maqdis. Mereka berdatangan dari berbagai negeri, termasuk Eropa. Selain kunjungan keagamaan, mereka juga menghadiri pasar Sauna (pasar musiman). Bahkan pasar itu dibangun oleh orang Nasrani. Artinya tidak hanya disejahterakan oleh umat Islam. Orang-orang Eropa dan dari berbagai negara datang berniaga ke pasar tersebut. Mereka beraktivitas di pasar itu dengan aman. Mereka dilindungi oleh khalifah.
Arkruf jugfa mengungkapkan kondisi gereja-gereja yang ada di Baitul Maqdis. Semua gereja tertata dengan baik. Kaum Nasrani bisa beribadah dengan penuh rasa nyaman dan aman. Ini menunjukkan bahwa ada jaminan keamanan, ada komitmen terhadap perjanjian, tidak ada orang iseng mengganggu orang-orang nasrani. Dia juga memberikan kesaksian terhadap Masjid Umar di Baitul Maqdis. Dia menyebut bangunan itu terbuat dari kayu dan bisa menampung sekiyar 3000 jamaah.
Kemudian kesaksian dari sejarawan Syam yang beragama Nasrani. Namanya Said Ibnu Bitrik. Dia memberikan kesaksian yang tak kalah penting, “Orang-orang muslim itu membantu orang-orang Nasrani di Baitul Maqdis. Termasuk membantu katredal-katredal yang ada di kota itu, setelah dulu dihancurkan oleh Persia.”
Orang-orang Islam pada masa itu membantu kaum Nasrani karena terikat dengan perjanjian. Mereka tulus dan ikhlas. Tidak sama dengan beberapa kelompok saat ini yang menggembar-gemborkan toleransi, namun pada saat yang sama menyinyir kepada kaum muslim yang lain. Itu sama sekali bukan ajaran Islam. Itu tentu harus menjadi pelajaran penting dalam kehidupan toleransi beragama.
Sumber: Youtube AQL Network Baitul Maqdis
Penulis: Moe