Spirit of Aqsa- Harian Haaretz dalam tajuk rencananya menyatakan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk pertama kalinya sejak operasi Taufan Al-Aqsa pada November 2023 mengakui bahwa pembebasan tawanan Israel hanya dapat dicapai melalui kesepakatan. Namun, pernyataan tersebut dinilai tidak membawa harapan nyata.
Netanyahu mengatakan kepada keluarga tawanan bahwa ia siap untuk melakukan gencatan senjata di Gaza. Ia juga mengklaim bahwa “apa yang berhasil di utara (mengacu pada kesepakatan penghentian pertempuran dengan Hizbullah di Lebanon) akan berhasil di selatan,” seperti dikutip dari tajuk tersebut.
Namun, Haaretz menegaskan bahwa optimisme terhadap pernyataan Netanyahu adalah kesalahan. “Netanyahu adalah pembohong ulung,” tulisnya, sembari menambahkan bahwa untuk memahami niat dan tindakannya, pernyataannya harus diabaikan dan fokus diarahkan pada tekanan politik yang ia hadapi.
Surat kabar itu juga mencatat bahwa keputusan terkait tawanan lebih dipengaruhi oleh pandangan anggota sayap kanan ekstrem dalam koalisi Netanyahu. Kelompok ini sering kali menghalangi kemajuan negosiasi dengan alasan kebutuhan keamanan untuk melanjutkan perang.
Menurut Haaretz, lembaga keamanan Israel, berbeda dengan kepemimpinan politik, lebih memilih melanjutkan kesepakatan pertukaran tawanan, terutama setelah militer mencapai sejumlah tujuan utama, seperti pembunuhan tokoh senior Hamas, Yahya Sinwar, dan Sekretaris Jenderal Hizbullah, Hassan Nasrallah. Hal ini berhasil mengurangi eskalasi di perbatasan utara.
“Fakta bahwa perang di Gaza terus berlanjut sebenarnya didorong oleh kepentingan politik, bukan alasan keamanan,” tulis Haaretz.
Tajuk tersebut mengakhiri dengan peringatan bahwa serangan terus-menerus terhadap kepemimpinan Hamas dapat menyulitkan upaya menemukan pihak yang dapat diajak bernegosiasi di masa depan.