Spirit of Aqsa, Palestina- Cuaca buruk disertai dengan hujan lebat dan angin kencang semakin memperberat perjuangan ratusan ribu murabith yang tinggal di tenda-tenda padat di kota Rafah, Jalur Gaza selatan. Lebih dari satu juta murabith tinggal di sana, mencakup sekitar setengah dari jumlah penduduk Gaza.
Sepanjang malam, mereka tidak bisa tidur, termasuk Um Ahmad Aloush yang mengungsi bersama keluarganya dari distrik Sheikh Radwan di Kota Gaza ke daerah Mawasi di sebelah barat Rafah. Um Ahmad tinggal dalam tenda yang diterjang hujan dan angin.
“Kami tenggelam dalam tenda ini. Oh Allah,” kata Um sembari mengutarakan perang Rusia-Ukraina pun tak bisa menyamai kondisi para korban pembantaian di Jalur Gaza.
Biasanya curah hujan akan mereda menjelang malam, tetapi para pengungsi khawatir tentang adanya badai lebih kencang pada keesokan harinya.
Di Tengah Badai
Um Ahmad, dengan tendanya yang terkoyak oleh angin, tempat dia tinggal bersama tiga putri dan suami, mengatakan, “Kami menghadapi perang pemusnahan Israel yang menargetkan semua orang Palestina.”
Dengan mata berlinang air mengekspresikan kesedihan, Um Ahmad berusaha memperbaiki apa yang dirusak oleh hujan dan angin. Dia gemetar karena dingin yang menusuk, berusaha memasang kembali tenda yang tidak bisa bertahan lama. Dia berharap bisa kembali ke rumahnya di Kota Gaza.
Um Ahmad, yang berusia 50 tahun, adalah salah satu dari sebagian besar pengungsi Palestina yang berjumlah sekitar 1,9 juta orang, menurut Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), yang merupakan 85% dari penduduk Gaza yang terpaksa mengungsi dari rumah dan tempat tinggal mereka karena pembantaian yang dilancarkan Israel sejak 7 Oktober 2023.
Dalam cuaca badai, gelombang pengungsian terus berlanjut ke kota Rafah di perbatasan dengan Mesir, terutama dari kota tetangga Khan Yunis, yang menyaksikan kekejaman Israel yang mengerikan seiring berlanjutnya operasi darat, yang disertai dengan serangan udara dan darat.
Tidak cukup tempat di tempat perlindungan UNRWA, atau di sekolah-sekolah dan fasilitas pemerintah. Bahkan jalanan pun menjadi penuh sesak dengan pengungsi yang tinggal di tenda yang tidak mampu menghadapi kondisi cuaca yang sulit.
Pembantaian dan Cuaca
Dengan beberapa kata, Muhammad Nasrullah, pengungsi dari utara Gaza, menggambarkan malam sulit yang dihabiskan bersama keluarganya di tenda dekat perbatasan dengan Mesir, barat Rafah, dengan mengatakan, “Pemboman, kelaparan, ketakutan, dan hujan.”
Penduduk Rafah dan para pengungsi terganggu terhadap suara ledakan besar yang terdengar dari jauh di Kota Khan Yunis, yang berjarak sekitar 11 kilometer.
Muhammad mengatakan, dia tinggal bersama lima anggota keluarga dan ibu mertua di dalam tenda kecil sejak terpaksa mengungsi dari Jabalia di utara Gaza ke Rafah sekitar 3 bulan yang lalu, “Itu malam yang sangat sulit, suara petir, kilat, dan angin bercampur dengan ledakan roket dan peluru.”
Muhammad mengulangi, “Hidup kami adalah tragedi,” katanya. Ketakutan Muhammad semakin meningkat atas kesehatan anak-anaknya yang terpapar penyakit akibat hujan dan dingin yang sangat ekstrem, ditambah dengan ketidaktersediaan tempat tidur dan selimut yang sesuai.
PBB telah memperingatkan tentang bencana kesehatan masyarakat di wilayah tersebut, dan penyebaran penyakit dan wabah mematikan di antara penduduk. Badan bantuan PBB mengakui warga Gaza menghadapi serangan udara, kelaparan, penyakit, dan kekurangan pangan.
Bencana Kesehatan
Kementerian Kesehatan di Gaza menjelaskan kondisi kesehatan sebagai “bencana dan sangat menyakitkan,” dan mencatat penyebaran besar penyakit menular dan pernapasan di antara penduduk dan pengungsi, terutama di kota Rafah.
Ketua Komite Darurat Kesehatan di Rafah, Dr. Marwan Al-Hamaseh, mengatakan, penyakit-penyakit ini menyebar terutama di kalangan anak-anak, dengan gastroenteritis, hepatitis epidemik, infeksi saluran pernapasan atas dan bawah menjadi yang paling umum.
Hamaseh mengakui bahwa tingginya tekanan pengungsi di tenda dan pusat penampungan, dalam cuaca yang sulit ini, dengan kebersihan, sanitasi, dan makanan yang kurang memadai, menyebabkan penyebaran besar penyakit dan semakin sulit dengan kekurangan obat-obatan dan tidak tersedianya vitamin dan antibiotik.
Sumber: Al-Jazeera