Spirit of Aqsa, Palestina – Kehidupan sederhana penjual sayur Palestina Zakaria Zubaidi berubah pada 29 September 2000, bertepatan dengan peluncuran perlawanan Al-Aqsa yang juga dikenal sebagai Intifada Kedua. Lahir di kamp Jenin pada tahun 1976 dan menjadi saksi penghancuran rumahnya oleh tentara Israel pada tahun 1988, Zubaidi menjadi salah satu pemimpin Brigade Martir Al-Aqsa (sayap militer Fatah) selama Intifada Kedua.
Dianggap sebagai simbol Intifada, Zubaidi ditangkap pada 2019 dan didakwa di pengadilan militer penjajah Israel. Pada 6 September 2021 dia membebaskan diri dari Penjara Gilboa di Utara Israel, bersama dengan lima warga Palestina lainnya, tetapi ditangkap kembali di dekat desa Kfar Tavor pada 11 September.
“Seperti pemuda lain di kamp, dia bergabung dengan perlawanan militer sejak awal Intifada. Itu adalah harapan keselamatan yang nyata bagi mereka setelah gagalnya Perjanjian Oslo,” kata Yahia Zubaidi, adik lelaki Zakaria yang tinggal di kamp Jenin.
Cerita dimulai pada 28 September 2000. Pemimpin oposisi sayap kanan penjajah Israel Ariel Sharon menyerbu dan menistakan kompleks Masjid Al-Aqsa di Al-Quds bagia timur yang diduduki.
Rakyat Palestina bangkit keesokan harinya, mengarah ke serangkaian perlawanan dan memicu konfrontasi, yang berakhir pada Februari 2005, dengan pengumuman bersama oleh Sharon, yang kemudian menjadi perdana menteri penjajah Israel. Sedangkan Mahmud Abbas, penerus mendiang Yasir Arafat sebagai kepala Otoritas Palestina.
Keesokan harinya, orang-orang Palestina syahid. Seorang penasihat pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina Yasser Arafat menyebut Sharon memicu perang agama.
“Sejak kami masih anak-anak, kami memimpikan hak untuk kembali sepanjang waktu, tetapi pendudukan tidak pernah membiarkan kami bermimpi. Dari masa kanak-kanak sampai hari ini, kami hidup menderita setiap hari, rumah kami hancur, bertahun-tahun kemudian tentara Israel membunuh ibu dan saudara laki-laki saya, dan menangkap kami, lima bersaudara,” kata Yahia.
Kakak yang perhatian
Yahia juga ingat bahwa ketika wajahnya terbakar pada tahun 2001 dan dia harus tinggal di rumah sakit selama sebulan, kakak laki-lakinya itu selalu bersamanya. Beberapa bulan kemudian, selongsong mortir meledak di wajah Zakaria yang menyebabkan kerusakan parah dan kronis pada penglihatan dan kelainan bentuk wajah.
“Dia tidak pernah meninggalkan saya sendirian setiap saat di rumah sakit, bahkan ketika ibu saya mengunjungi kami dan memintanya untuk kembali ke rumah untuk beristirahat,” katanya.
Selama Intifada Kedua, tentara Israel menyerang rumah Zakaria dan membunuh ibunya pada Maret 2002. Sebulan kemudian saudaranya Taha juga terbunuh.
“Dia menikah selama Intifada. Namun dia tidak bisa hidup sebagai ayah dengan anak-anaknya karena menghadapi tuntutan Israel,” ungkapnya.
Setidaknya ada empat upaya untuk membunuhnya dan dia terluka beberapa kali. Pada tahun 2007, Otoritas Palestina menandatangani perjanjian politik dengan penjajah Israel di mana Israel tidak menangkap Zakaria, tetapi membatasi gerakannya.
Pada pagi hari tanggal 6 September, Yahia mengaku terkejut setelah mengetahui saudaranya merupakan salah satu dari enam warga Palestina yang membebaskan diri dari penjara Gilboa di utara Palestina yang terjajah. “Saya senang dan khawatir. Saya bermimpi untuk melihatnya bahkan hanya untuk sesaat,” ujarnya.
Adik laki-lakinya, yang tinggal bersama Zakaria selama empat bulan di berbagai waktu dari tahun 2002 hingga 2018, berharap dapat bertemu saudaranya ketika dia bebas. Dia bilang Zakaria bisa mengejutkanmu kapan saja.
“Saya menunggu dia dan rekan-rekannya untuk mendengar cerita dari mereka. Mereka pencari kebebasan,” tuturnya. (langit7.id)