Gaza berada di ambang krisis kesehatan yang kian parah. Rumah sakit beroperasi tak maksimal, persediaan obat dan peralatan medis menipis, sementara tenaga kesehatan terbatas akibat pembatasan ketat yang diterapkan Israel di perbatasan, menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Sekitar 50% dari 36 rumah sakit di Gaza hanya beroperasi sebagian, 25 rumah sakit mengalami kerusakan parsial, dan 40% pusat kesehatan juga hanya berfungsi sebagian. Dari sisi persediaan, 229 jenis obat esensial tidak tersedia secara penuh, dan 65% alat medis habis atau terbatas. Rumah Sakit Al-Shifa, salah satu fasilitas utama, kekurangan 60% obat yang dibutuhkan untuk operasi rutin.
“Proses pemulihan fasilitas kesehatan berjalan lambat. Banyak layanan dasar tidak tersedia, sehingga ribuan warga harus dievakuasi untuk mendapatkan perawatan medis di luar Gaza,” ujar Tarik Jasarevic, juru bicara WHO, dalam sesi “Laporan Kemanusiaan Gaza” di Al Jazeera. Saat ini, diperkirakan 16 ribu pasien membutuhkan evakuasi medis.
WHO bersama Kementerian Kesehatan Palestina telah membuka 26 pusat kesehatan, termasuk empat rumah sakit dan enam pusat perawatan primer. Namun kebutuhan mendesak tetap besar: membuka lebih banyak jalur masuk untuk bantuan dan evakuasi pasien, memperluas akses ke pengobatan di Tepi Barat, serta dukungan negara-negara yang bersedia menerima pasien Gaza.
Selain itu, Gaza masih kekurangan beragam bahan makanan dan peralatan medis penting yang sebagian dilarang masuk oleh pihak Israel. Sekitar 20 ribu warga di utara Gaza saat ini tidak memiliki akses ke rumah sakit yang berfungsi penuh.
Jasarevic menekankan, “WHO mendapat dukungan finansial dan peralatan dari sejumlah negara, tapi kami butuh lebih banyak negara membuka pintunya untuk pasien Gaza. Ribuan nyawa tergantung pada akses ini.”
Situasi ini menggambarkan krisis kemanusiaan yang tak kunjung reda, di mana warga sipil terus menghadapi risiko kesehatan tinggi akibat perang dan blokade yang membatasi hak mereka untuk mendapatkan perawatan dasar.
Sumber: Al Jazeera
