Spirit of Aqsa, Palestina- Warga Gaza menolak perintah Israel untuk meninggalkan Jalur Gaza menuju selatan. Salah satunya Salim Ayoub (65 tahun) dari Gaza. Dia memilih bertahan di Gaza untuk tidak mengulangi peristiwa Nakba pada 1948.

“Apa yang terjadi sekarang adalah pengulangan dari apa yang terjadi pada 1948. Saya duduk dan mendiskusikan hal ini dengan anak-anak saya, dan kami memutuskan untuk tidak pergi. Kami tidak akan meninggalkan Gaza utara dan pergi ke selatan karena kami tidak ingin kehilangan tempat tinggal lagi,” kata Salim, dikutip Middle East Eye, Senin (16/10).

Naama Hazem (20), tinggal bersama keluarganya di lingkungan Daraj di Kota Gaza. “Kami ada lebih dari 20 orang di gedung itu. Kakek saya menolak keluar dan mengatakan dia lebih memilih mati di rumahnya,” katanya kepada MEE.

“Kami mengambil keputusan untuk tidak berpisah, meski itu berarti kami mati bersama. Faktanya, meskipun kami berpikir untuk pergi, tidak ada tempat bagi kami untuk pergi. Kami tidak memiliki kerabat di selatan.”

Mereka khawatir terulangnya peristiwa Nakba pada 1948. Saat itu, lebih dari 700.000 warga Palestina diasingkan dan mereka serta keturunan mereka tidak pernah diizinkan kembali. Banyak dari keluarga Palestina tersebut berakhir di Gaza dan perintah untuk meninggalkan Gaza akan membawa kembali kenangan bersejarah tentang pembersihan etnis pad 1948. Lebih dari 60 persen penduduk Gaza sudah menjadi pengungsi dari wilayah lain di Palestina.

“Saya tidak mendukung gagasan adanya pemukiman kembali di Sinai,” Ali Abdel-Wahab, seorang analis data dan peneliti yang tinggal di Gaza yang terkepung mengatakan kepada MEE. “Rakyat Palestina yang hidup melalui peperangan dan kenangan Nakba berharap hal itu tidak terulang lagi.”

Abeer Z Barakat, salah satu warga Gaza, yang memilih bertahan meski digempur bom siang dan malam oleh militer zionis Israel. Rumahnya sudah hancur dibom. Kini, dia tinggal di rumah salau warga Gaza di bagian tengah.

Saat ada peringatan dari zionis Israel agar warga Gaza mengungsi ke selatan, Abeer sempat berdiskusi dengan keluarganya. Hasilnya, dia bersama keluarga memilih bertahan dan menolak keinginan Israel.

Mengutip Republika, Abeer mengaku tak ingin mengulangi kesalahan yang pernah orang Palestina lakukan pada 1948. Saat itu, Peristiwa Nakba terjadi, lebih dari tujuh ratus ribu warga Palestina keluar dari tanah mereka untuk menghindari perang Arab Israel.

“Beberapa orang harus memilih. Kami tidak menyalahkan mereka yang ingin pergi karena ingin hidup. Tapi kami pilih bertahan. Kalaupun kami akan mati, maka kematian ini yang terhormat. Ini adalah yang dipikirkan orang-orang Gaza,” ujar Abeer.

Dalam berbagai grup whatsapp yang tergabung banyak warga Gaza, mereka saling berkirim doa dan hadis-hadis Rasulullah SAW. Abeer sadar hanya dengan mendekat kepada Allah SWT, maka mereka bisa tetap tenang.

Untuk keluarga, dia memeluk anak-anaknya sambil membacakan doa dan syahadat menjelang tidur. Mereka ingin mempersiapkan diri dengan kondisi terbaik jikalau tak bisa bertemu dengan hari esok. Saat waktu shalat, mereka sekeluarga pun melakukan shalat jamaah bersama dengan diimami oleh suami tercinta.

“Ini untuk Masjidil Aqsa, ini untuk Allah SWT. Semoga kami termasuk seperti apa yang dikatakan dalam hadis Rasulullah SAW menjadi orang yang dirahmati,”kata Abeer. 

Abeer bercerita, jika krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dialami warga Gaza. Dari utara hingga selatan kesulitan dialami mereka. Di perbatasan Mesir, serangan Israel menghantam jalur bantuan internasional yang berlangsung hingga sepekan.

Di dalam Gaza, kerusakan begitu parah. Hampir semua bangunan hancur. Puluhan ribu orang mengungsi ke sekolah, universitas hingga rumah sakit. Faktanya, ujar Abeer, mereka juga masih dibom. “Tidak ada tempat yang aman di Gaza,”kata dia.

Menurut Abeer, Israel juga sudah menghancurkan satu-satunya pembangkit listrik di Gaza. Mereka hidup dalam gelap gulita. Warga pun tidak punya tempat untuk me-recharge telepon seluler. Untungnya, ujar Abeer, ada beberapa rumah yang memiliki listrik tenaga surya. Salah satunya rumah tempat dia mengungsi sekarang.

Dia mengungkapkan, sangat sulit bagi anak-anak untuk hidup dalam kondisi tersebut. Bagi mereka yang amat muda dan belum pernah mengalami agresi, serangan tersebut membuat mereka trauma. Bagi mereka yang sudah pernah mengalami perang, mereka menjadi amat takut karena trauma.”Kami mencoba untuk menenangkan mereka. Kami doa dan shalat bersama. Kami mencoba memperlihatkan Allah melindungi kami,”kata dia.

Sumber: Republika dan Middle East Eye

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here