Lebih dari sekadar jeritan, kata-kata itu mengalun dari Gaza bagai doa yang menggantung di langit muram. “Anqidzuna… Nahnu namut.” Selamatkan kami, kami sedang mati. Begitulah judul laporan memilukan dari Mediapart, yang mengungkap kenyataan pahit: sejak agresi dimulai, lebih dari seratus warga Palestina, mayoritas anak-anak, telah gugur karena kelaparan. Dan sejak akhir Mei, lebih dari seribu jiwa (yang hanya ingin mencari sesuap makanan) syahid dibunuh oleh militer Israel, sebagaimana laporan oleh PBB.

Dalam laporan yang ditulis Rashida El Azzouzi, Margaux Hussin, dan Clotilde Mraffko itu, kisah tentang Suhaib Abu Seif (30 tahun), seorang pekerja sosial dari Gaza, menjadi potret getir kehidupan di tengah blokade maut. Ia menghabiskan waktu sebulan penuh hanya untuk mendapatkan satu kilogram tepung dengan harga hampir 40 dolar.

“Itu hanya cukup untuk satu hari. Aku tak takut mati, tapi aku tak sanggup melihat anak perempuanku kelaparan,” ujarnya melalui sambungan telepon.

Gaza telah lama kehilangan bau daging dan rasa ikan. Sejak Februari, pasar-pasar kosong melompong. Suhaib berkata, “Keluar ke jalan, dan dalam satu menit, kau bisa melihat dua hingga tiga orang roboh karena mereka sudah terlalu lama tidak makan.”

Dokter yang Juga Kelaparan

Mohammed Abu Mughaisib, koordinator medis dari Médecins Sans Frontières, mengaku bahwa ia hanya makan sekali dalam dua hari. “Kami mengobati pasien yang kelaparan, padahal kami sendiri juga sekarat. Kami dituntut menyelamatkan nyawa sementara nyawa kami perlahan-lahan menghilang,” tulisnya di media sosial.

Gudang Penuh, Gaza Kosong

Ironi pahit datang dari Tamara Al Rifai, Direktur Komunikasi UNRWA, yang menyatakan bahwa gudang-gudang mereka di Mesir dan Yordania dipenuhi pasokan makanan untuk dua bulan ke depan, namun semuanya tertahan. “Gaza telah kehabisan stok sejak berminggu-minggu lalu, tapi semuanya diblokade oleh Israel,” katanya getir.

Mohammed Saqr, Kepala Perawat di RS Nasser, Khan Younis, mengaku dalam keadaan terdesak. “Kami hampir menangguhkan layanan medis karena tak ada lagi perban, suntikan, atau kasa. Tolonglah kami… kami sedang sekarat. Kelaparan tidak pandang bulu. Ia menyapu semua lapisan masyarakat.”

Kelaparan Sebagai Senjata

Duta Besar Palestina di Prancis, Hala Abou Hassira, membagikan kisah pamannya yang telah empat hari tak menyentuh makanan. “Bagaimana mungkin dunia membiarkan seluruh rakyat kelaparan? Bagaimana bisa Israel menggunakan kelaparan sebagai senjata perang dan lolos dari segala hukuman, sementara dunia memilih diam?” katanya, menggugat diamnya kemanusiaan.

Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, 15 orang (termasuk empat anak) meninggal dunia karena kelaparan hanya dalam dua hari terakhir. Sejak 7 Oktober, setidaknya 101 warga Gaza, termasuk 80 anak-anak, syahid karena kelaparan. UNICEF mencatat, setiap harinya, 112 anak dilarikan ke rumah sakit karena malnutrisi.

Permainan Maut Bernama Bantuan

Lebih dari seribu jiwa, menurut data PBB, telah terbunuh hanya karena mencoba mengakses bantuan makanan. Bahkan, dalam salah satu distribusi yang disebut warga sebagai “The Hunger Games” versi Gaza, tentara Israel membantai sedikitnya 99 warga sipil. “Saat konvoi makanan mendekat,” tulis laporan World Food Programme, “kerumunan massa diberondong peluru oleh tank, penembak jitu, dan tembakan lain dari tentara Israel.”

Israel mengklaim tembakan itu hanya tembakan peringatan. Namun, seorang tentara cadangan mengungkap kepada Wall Street Journal bahwa “aturan tembak-menembak sangat longgar. Kalau kau merasa terancam oleh kerumunan, kau boleh menembak sebelum hal buruk terjadi.”

Dunia Mulai Bicara, Tapi Apakah Cukup?

Baru-baru ini, 25 negara Barat (termasuk Prancis) menyerukan gencatan senjata segera. “Penderitaan warga sipil Gaza telah mencapai tingkat yang tak pernah terjadi sebelumnya,” demikian bunyi pernyataan bersama. Mereka menyatakan kesiapan untuk mendukung gencatan senjata dan proses politik menuju perdamaian yang adil.

Namun, Kementerian Luar Negeri Israel menanggapi sinis. “Seruan ini tidak mencerminkan realitas dan justru mengirim pesan keliru kepada Hamas.” Sementara itu, Suhaib berkata dengan suara yang nyaris padam, “Pilihan kami hanya dua: pengasingan… atau kematian. Dan keduanya lebih baik daripada hidup seperti ini.”

Gaza Dijajah oleh Perut Kosong

Kelaparan mengubah manusia. Di tengah kekacauan, para spekulan muncul, menjual kembali bantuan pangan dengan harga selangit. Masyarakat mencoba melawan, pasar sempat ditutup, namun ketika dibuka kembali, harga justru makin tak terjangkau. Sementara itu, waktu terus berjalan, dan Gaza kian tenggelam dalam senyap dunia yang membisu.

Sumber: Mediapart

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here