Tak ada senjata di tangan “Umm Bahaa” ketika rumahnya di selatan Hebron dihancurkan oleh tentara pendudukan Israel. Yang ada hanya batu, air mata, dan pekikan kemarahan. Di tengah gempuran buldoser bersenjata dan pasukan berseragam lengkap, perempuan Palestina itu melawan dengan keberanian yang tak kalah tajam dari peluru. Ia melangkah maju, mendekati salah satu tentara, meludahi wajahnya, lalu berteriak penuh luka: “Ini tanah kami… Enyahlah kalian!”

Peristiwa itu terjadi di Wadi al-Jawaya, wilayah Masafer Yatta, selatan Hebron, Tepi Barat. Subuh itu, keluarga al-Shawahin dikejutkan oleh raungan alat berat milik militer Israel. Rumah mereka—tempat delapan jiwa berlindung—mulai dihancurkan tanpa peringatan. Dalam sekejap, tempat berteduh berubah menjadi puing. Harapan digilas tanpa ampun.

Umm Bahaa, istri dan ibu dari keluarga itu, berlari sambil menangis ke arah para tentara, menjerit: “Itu hasil jerih payah suamiku dan anak-anakku!” Tapi para tentara tetap tak bergeming. Rumah mereka luluh lantak. Masa depan mereka kini hanya beralaskan tanah terbuka.

Namun Umm Bahaa tak tinggal diam. Dengan marah, ia mengambil batu dari tanah lalu melemparkannya ke arah mereka, sambil meneriaki: “Rendahan!” dan kembali meludahi wajah tentara yang tanpa rasa bersalah menghancurkan seluruh hidupnya.

Bentuk Pembersihan Etnis

Menurut Rateb al-Jabour, koordinator Komite Rakyat dan Nasional untuk Perlawanan terhadap Tembok dan Permukiman, yang terjadi di Masafer Yatta bukan sekadar penggusuran, tapi bagian dari proyek pemindahan paksa warga Palestina, atau dengan kata lain: pembersihan etnis. Tujuannya jelas—mengosongkan wilayah demi memperluas kontrol pemukim ilegal Israel atas tanah-tanah Palestina.

Al-Jabour mencatat bahwa sejak 7 Oktober 2023, para pemukim telah mendirikan 25 pos pemukiman baru yang merampas ribuan dunum tanah milik warga. Ia menyerukan agar lembaga-lembaga internasional dan organisasi HAM dunia segera bertindak, agar rakyat Palestina tetap bisa bertahan di tanah mereka sendiri.

Perjuangan Harian di Bawah Bayang-bayang Pendudukan

Di Hebron, khususnya di Masafer Yatta, penduduk Palestina menghadapi pertempuran yang tak pernah usai. Serangan demi serangan dari para pemukim—yang dilakukan di bawah perlindungan tentara Israel—terjadi setiap hari. Warga dicegah mengakses tanah pertanian mereka, ladang-ladang dihancurkan, dan para petani dikejar-kejar di bukit dan lembah.

Namun, di tengah tekanan brutal itu, suara Umm Bahaa dan putrinya Maznah al-Shawahin justru semakin lantang. Mereka menegaskan: “Ini tanah kami! Kalau rumah kami dihancurkan, kami akan bangun lagi. Kalau kami diusir, kami akan kembali. Kami tidak akan pernah meninggalkan negeri ini.”

Maznah mengatakan, sejak perang di Gaza meletus pada 7 Oktober, kekerasan para pemukim di Tepi Barat meningkat tajam. Mereka mengusir warga dari rumah mereka, mencuri hasil panen, dan mempercepat perluasan pos-pos pemukiman ilegal.

Data dari Otoritas Perlawanan terhadap Tembok dan Permukiman menunjukkan, sejak perang dimulai, telah didirikan 60 pos pemukiman baru di Tepi Barat, 51 di antaranya muncul hanya dalam tahun 2024. Akibatnya, 29 komunitas Palestina—sekitar 2.000 jiwa—terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here