Spirit of Aqsa- Dari tenda kecil hingga sekolah dengan enam kelas, dari inisiatif pribadi yang hanya melibatkan 40 anak hingga menjadi sekolah Al-Salam dan Al-Hurriya dengan 500 murid, adalah prestasi luar biasa dari seorang gadis berusia 24 tahun yang bertekad mengubah hidup anak-anak pengungsi di kamp pengungsian di Deir al-Balah, Gaza.
“Saat dunia terasa berhenti, dan aku merasa ini adalah akhir,” ujarnya.
Kisah ini berawal ketika ia berbincang dengan anak-anak di tenda, menanyakan mimpi mereka. Saat mereka menjawab, ia melihat harapan di mata mereka. Ini menjadi awal dari perjalanan selama sembilan bulan bagi Doaa Qudaih, lulusan bahasa Inggris dan mahasiswa magister, yang berhasil mengubah cara berpikir dan perilaku anak-anak tersebut.
“Dari kesedihan atas kenangan pahit, kini mereka beralih ke impian indah mereka,” katanya kepada Al Jazeera.
Kisah-kisah Keteguhan
Doaa dibantu oleh saudaranya yang berpengalaman dalam bimbingan pendidikan dan psikologis. Mereka membuat rencana untuk membantu anak-anak ini menghadapi trauma perang, memulihkan kepercayaan diri, dan mengatasi ketakutan mereka.
“Saya bangga menolak kesempatan untuk pergi dan memilih tetap di Gaza demi anak-anak ini,” katanya dengan teguh.
Kisah Doaa adalah satu dari ratusan kisah perempuan Gaza yang kini harus menjalankan peran lebih dari sekadar seorang ibu. Mereka mengambil alih tugas para pria yang telah gugur, ditahan, atau hilang dalam perang, membentuk kehidupan baru demi bertahan hidup.
Di depan tendanya, Ridha Mesleh, 16 tahun, memasak di atas api kayu untuk membuat minuman hangat yang dijual kepada pengungsi dan jurnalis di Rumah Sakit Syuhada al-Aqsa.
“Dengan uang dari berjualan minuman, saya bisa membeli tabung gas untuk menghindari luka bakar dari api kayu,” kata Ridha, yang harus menghidupi keluarga besarnya yang sebagian besar mengalami cedera.
Kekuatan dan Ketabahan
Dengan tenang, Umm Malik Baroud duduk di rumah duka yang telah ia gelar lima kali dalam setahun terakhir, kehilangan empat putra dan seorang putri yang adalah seorang jurnalis.
“Malik, Hanin, Muhammad, Mu’min, dan Ahmad,” katanya sambil menyebut nama-nama anaknya yang gugur. Ayah mereka hilang dan nasibnya tidak diketahui. Meskipun ia menyambut setiap kehilangan dengan syukur, matanya tetap menyiratkan duka mendalam.
“Saya diajarkan bahwa kepergian anak adalah kebanggaan,” ujarnya. “Kami seperti ibu-ibu di dunia ini, tetapi berbeda karena fokus kami adalah membentuk generasi yang siap berkorban demi bangsa dan agama,” tambahnya dengan keteguhan.
Di rumah sakit Kamel Adwan, perawat Dalal Abu Amsha telah bekerja tanpa henti selama lebih dari setahun, bahkan saat rumah sakit itu berada dalam zona bahaya. Ia membawa kelima anaknya untuk tinggal bersamanya di rumah sakit, agar tetap dekat di tengah jam kerja panjang yang harus ia jalani.
Tidak Ada Kata Menyerah
Dalal mengingat saat yang paling berat ketika seorang anak terluka dibawa masuk oleh tim medis tanpa keluarganya. Ia menolak beranjak dari sisinya hingga berhasil menyatukan kembali anak itu dengan keluarganya.
Di antara tuntutan sebagai ibu dan komitmen kemanusiaan, Dalal menegaskan bahwa perempuan Gaza siap memberikan segalanya untuk mengurangi penderitaan perang yang tak memandang usia atau jenis kelamin.
Umm Fuad Zubda, yang kehilangan suami dan anak tertuanya, nyaris larut dalam kesedihan, namun ia bangkit untuk keluarganya. Ia memulai usaha kecilnya sendiri dengan membuat keju dan produk susu, mengisi kekosongan di pasar Gaza, meskipun biaya bahan baku yang tinggi mengancam kelangsungan usaha ini.
Perempuan Gaza memiliki tekad baja yang tak pernah pudar. “Kami tidak akan menunjukkan kelemahan kami kepada penjajah, kami siap mengorbankan segalanya demi Allah,” tegas Umm Fuad. “Tak ada yang bisa menahan kami selain perempuan-perempuan paling mulia di bumi ini.”
Sumber: Al Jazeera