Gaza, di bawah langit yang dipenuhi bayangan drone dan reruntuhan, suara dr. Lubna al-Azaiza menggema lirih namun tegas: “Ini bukan hanya perang rudal, ini perang kelaparan. Perang pembunuhan secara perlahan.”
Di tengah reruntuhan rumahnya yang porak poranda akibat serangan udara Israel dan hilangnya klinik pribadinya di Deir al-Balah, dr. Lubna tetap berdiri. Seorang ibu dari tiga anak, dokter anak dan spesialis gizi, yang kini menjalankan satu-satunya “klinik darurat gratis” dari tenda yang ia bangun di atas puing rumahnya sendiri.
Setiap hari, ia menyambut puluhan pasien (mayoritas bayi, ibu menyusui, dan ibu hamil) yang tubuhnya mulai menyerah pada rasa lapar. “Mereka datang kelaparan, dan aku pun memeriksa mereka dalam keadaan lapar,” ucapnya serak, usai seharian bekerja tanpa makan layak. Tepung tidak ada, roti tak bisa dibeli, dan tubuhnya pun mulai memberi sinyal kelelahan.
Di tenda kecil yang ia beri nama Sahabat Ibu dan Anak, Lubna menangis ketika menerima seorang ibu muda yang datang membawa bayinya yang baru sebulan lahir. Tubuh sang ibu kurus, payudaranya kering. Ia tak mampu menyusui. Susu formula pun terlalu mahal, hampir tak mungkin ditemukan. Dengan suara putus asa, si ibu hanya bisa bertanya: “Apa yang bisa kuberikan padanya agar ia tetap hidup?”
“Para ibu mulai mencampur air dengan lentil untuk memberi makan bayi-bayi mereka,” kata Lubna getir. “Namun akibatnya lebih buruk, infeksi, diare, dehidrasi, bahkan kematian.”
Tak hanya bayi dan anak-anak, perempuan hamil juga menghadapi bencana yang sunyi. Lubna mencatat lonjakan keguguran, kelahiran prematur, dan bayi lahir dengan berat yang sangat rendah. “Jika janin tidak mendapatkan cukup nutrisi sejak dalam kandungan, maka setelah lahir mereka mulai memakan tubuhnya sendiri: otot, lemak, hingga protein terakhir.”
Salah satu pasiennya, seorang ibu hamil, menangis saat menerima resep obat. Bukan karena efek penyakit, tetapi karena tak ada makanan di rumah untuk mengonsumsi obat tersebut. “Tidak ada roti,” katanya. “Lalu bagaimana aku bisa minum obat ini?”
Lubna, yang juga seorang ibu, hanya bisa ikut menangis. “Kelaparan lebih menyakitkan daripada bom. Ia membunuhmu perlahan, mencabik rasa kemanusiaanmu setiap hari.”
Klinik Darurat, Rumah Sakit Mini di Tengah Neraka
Klinik tenda Lubna bukan sekadar tempat pengobatan, tapi simbol harapan. Dengan tim kecil yang terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi, dan tenaga dukungan psikologis, mereka melayani semua yang datang, dari bayi kelaparan hingga lansia yang tak mampu lagi berjalan.
Saban hari, dari pagi hingga malam, ia memeriksa sedikitnya 30 kasus gizi buruk dan ribuan lainnya yang datang meminta pertolongan. Di tengah ketiadaan bahan bakar, obat-obatan, atau listrik, tenda ini menjadi rumah sakit mini yang mengambil alih beban rumah sakit sesak yang tingkat keterisiannya telah melampaui 250%.
Namun, tekanan terus bertambah. Dari 38 rumah sakit di Gaza, 22 kini telah hancur atau tak dapat beroperasi. Rumah sakit yang tersisa, seperti “Syuhada Al-Aqsa” di Deir al-Balah, tinggal menunggu waktu sebelum menyusul, akibat blokade bahan bakar dan peralatan medis.
Lubna dan timnya pun mencoba menjangkau pengungsi yang tak mampu datang ke tenda, mengadakan kunjungan ke kamp-kamp darurat. Tapi kini, aktivitas itu terhenti, karena tenda mereka sendiri sudah dibanjiri penderita kelaparan yang datang tanpa henti.
Meski tubuhnya mulai ringkih, suara dr. Lubna masih sarat tekad. “Ini bukan sekadar pekerjaan. Ini tanggung jawab, sebagai dokter, sebagai ibu, sebagai manusia.”