Di balik gempuran militer yang tak henti menewaskan warga sipil dan menghancurkan infrastruktur Gaza, Israel ternyata menggunakan senjata lain yang tak kalah berbahaya: perang narasi dan manipulasi hukum.

Sebuah unit rahasia di bawah Staf Umum militer Israel, dikenal sebagai “Unit Legitimasi”, bekerja bukan dengan peluru atau rudal, melainkan dengan membangun rangkaian narasi yang didesain untuk membenarkan serangan brutal. Unit ini menjadi otak di balik kampanye propaganda yang berusaha memberi alasan atas penghancuran rumah sakit, sekolah, hingga pemukiman padat penduduk.

Menurut laporan The Cradle Arabic (15 Agustus 2025), tugas utama unit ini adalah mengumpulkan data intelijen bukan demi operasi lapangan, tetapi untuk memperkuat versi resmi Israel di panggung internasional. Mereka memelintir prinsip “proporsionalitas” untuk menjustifikasi korban sipil, menyebut ribuan kematian hanya sebagai “kerusakan sampingan.” Tuduhan lama soal Hamas menggunakan warga sipil sebagai “tameng manusia” juga terus diulang, meski Human Rights Watch menyebutnya sekadar dalih untuk membenarkan penargetan warga sipil.

Lebih jauh, sumber intelijen mengungkap bahwa unit ini juga berupaya mencemarkan reputasi jurnalis Gaza. “Jika media internasional menyoroti pembunuhan jurnalis, mereka segera mencari satu nama untuk dituduh, seolah itu membenarkan kematian yang lain,” kata sumber tersebut. Strategi ini bukan hanya melegitimasi serangan, tetapi juga berusaha membungkam saksi mata independen yang melaporkan realitas di lapangan.

Dampaknya terlihat jelas. Setelah serangan di Rumah Sakit Al-Ahli pada 17 Oktober 2023 yang menewaskan hampir 500 orang, Israel buru-buru menuding Jihad Islam dengan bukti audio yang kemudian dibantah sebagai rekayasa. Hasilnya, kebingungan global tercipta, sementara fakta utamanya (ratusan warga sipil terbunuh di rumah sakit) tertutupi kabut propaganda.

Para pengamat menilai keberadaan “Unit Legitimasi” merupakan pengakuan tidak langsung bahwa Israel sadar tindakannya tidak sah di mata hukum internasional. “Militer yang yakin pada legalitas tindakannya tidak memerlukan unit rahasia untuk memproduksi narasi,” kata pakar hukum internasional Richard Falk. Amnesty International dan Human Rights Watch pun mendesak PBB serta Mahkamah Pidana Internasional membuka penyelidikan independen, menegaskan bahwa “narasi resmi Israel tidak bisa dijadikan satu-satunya acuan.”

Pada akhirnya, perang di Gaza bukan hanya pertempuran militer, tetapi juga perang kesadaran publik. Israel berusaha menutupi kejahatan dengan lapisan narasi hukum dan propaganda, sementara di lapangan penderitaan warga sipil terus bertambah. Bagi korban, kebenaran adalah senjata terakhir yang tersisa, dan itulah yang kini sedang dibidik untuk dibungkam.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here