Bantuan yang dijatuhkan dari langit tidak akan menyelamatkan anak-anak yang kelaparan di Gaza. Demikian pernyataan tegas dari Joe English, juru bicara UNICEF, dalam wawancaranya bersama Al Jazeera. Meski setiap upaya untuk meringankan derita warga Palestina patut diapresiasi, English menegaskan bahwa “bantuan udara hanya menjangkau sebagian kecil dari kebutuhan yang amat besar.”
Ia menyuarakan kegelisahan banyak pekerja kemanusiaan yang selama ini terhalang masuk ke Gaza. “Yang dibutuhkan adalah akses penuh bagi lembaga-lembaga PBB untuk bekerja tanpa hambatan, dan yang lebih penting, gencatan senjata permanen agar anak-anak bisa diselamatkan dari kematian akibat kelaparan,” ujarnya.
Menurut English, krisis di Gaza bukan hanya tentang kekurangan makanan. “Ini soal tidak adanya alat medis, merebaknya penyakit, dan anak-anak yang terbunuh dalam serangan Israel,” katanya. Ia mengungkap betapa sulitnya merawat anak-anak di tengah kondisi kemanusiaan yang amat rumit. “Sekadar menjangkau mereka saja sudah menjadi tantangan,” lanjutnya, sambil menekankan bahwa tanpa izin masuk bagi tim medis, tak ada yang bisa dilakukan.
Dalam pengalamannya bertahun-tahun, English mengaku belum pernah melihat bencana kemanusiaan sebesar ini. Bahkan para relawan sendiri kini turut kelaparan. “Situasi ini tak bisa terus dibiarkan,” serunya.
Sementara itu, tekanan internasional terhadap Israel terus meningkat. Presiden AS Donald Trump mengatakan telah menyampaikan langsung kepada Benjamin Netanyahu bahwa “perang di Gaza harus dihentikan dan pendekatannya perlu diubah.” Ia mengakui bahwa warga Gaza sedang sekarat karena kelaparan.
Namun alih-alih merespons seruan dunia, Israel justru memperdalam bencana. Data dari rumah sakit di Gaza menyebutkan, sejak fajar hari ini saja, 79 warga kembali syahid akibat tembakan brutal tentara pendudukan, 31 di antaranya adalah warga yang tengah menunggu bantuan makanan.
Delapan dari sepuluh korban kelaparan di Gaza adalah anak-anak, menurut data PBB. Dan di balik statistik itu, ada kenyataan pilu: 40 ribu bayi di ambang kematian karena kekurangan susu, sementara Israel telah menghalangi masuknya susu formula selama 150 hari terakhir. Kementerian Kesehatan Palestina memperingatkan bahwa tanpa pasokan minimal 250 ribu kaleng susu per bulan, gelombang kematian bayi akan terus bertambah.