Warga Kamp Tulkarm belum sempat bernapas lega setelah berhasil mendapatkan keputusan pengadilan Israel untuk menunda pembongkaran rumah mereka pada akhir pekan lalu. Namun, pada Senin malam (7/7), mereka dikejutkan dengan kembalinya buldoser teroris Israel yang memulai pembongkaran terbesar sejak serangan militer ke kamp-kamp di utara Tepi Barat pada Januari lalu.

Di atas bukit yang menghadap kamp, Zuhair Jamous (38 tahun) berdiri menyaksikan buldoser militer menghancurkan bagian depan rumahnya, rumah yang baru dia tempati selama satu tahun. Ia mengatakan pembongkaran dimulai dari rumahnya, “yang menjadi rumah pertama yang dihapus dari peta kamp setelah keputusan penundaan yang lemah itu.”

Ia menceritakan kepada Al Jazeera Net perasaannya saat menyaksikan jerih payah bertahun-tahun hancur dalam hitungan menit. “Saya terbangun karena telepon yang memberitahukan bahwa buldoser Israel mulai meratakan kamp. Saya datang untuk memastikan, ternyata rumah saya jadi titik awal. Rumah ini saya bangun selama lima tahun, saya curahkan seluruh tenaga dan harapan anak-anak serta istri untuk tinggal di rumah impian,” katanya.

Keputusan lemah

Jamous menegaskan bahwa warga kamp sudah menyadari sejak awal bahwa keputusan penundaan itu lemah dan tak akan bertahan lama, tetapi mereka tidak menduga akan dilanggar secepat ini.

“Kami bahkan tidak sempat mengemasi kenangan kami dari rumah sebelum dihancurkan semua. Kami tercerai-berai di berbagai tempat, sebagian di Distrik Dhabbaba, sebagian di Distrik Aktaba, dan lainnya mengungsi ke Nablus. Pembongkaran ini bukan sekadar merobohkan tempat tinggal, tapi juga memutus keakraban dan ikatan antar keluarga,” ujarnya.

Keluarga Jamous hanyalah satu dari 100 keluarga yang pada Mei lalu telah diberi peringatan pembongkaran oleh tentara pendudukan sebagai bagian dari rencana sistematis untuk menghancurkan kamp-kamp di utara Tepi Barat sejak operasi “Tembok Besi” dimulai enam bulan lalu. Israel mengumumkan akan membuka jalan-jalan militer, memperluas wilayah agar kendaraan dan pasukan mudah masuk, serta membuat ruang kosong di dalam kamp.

Menurut Faisal Salameh, Direktur Komite Layanan Kamp Tulkarm sekaligus Wakil Gubernur, Israel telah melanggar semua konvensi dan perjanjian internasional, terutama di Kamp Nur Shams dan Tulkarm.

Ia menjelaskan kepada Al Jazeera Net bahwa pihaknya berhasil, lewat Pusat Hukum Adalah, mendapatkan keputusan dari Mahkamah Agung Israel untuk menunda pembongkaran 104 bangunan hingga 2 September mendatang. Namun, pelanggaran yang dilakukan tentara menunjukkan bahwa keputusan tersebut hanya formalitas.

Masalah pengungsian

Menurut catatan pemerintah daerah Tulkarm, dalam dua tahun terakhir, selama 62 kali penggerebekan, pendudukan telah menghancurkan, membakar, dan merusak rumah-rumah serta infrastruktur. Sejak 27 Januari lalu, Israel telah menghancurkan 17 rumah di awal, lalu 28 bangunan lainnya, kemudian 58 bangunan, dan kini 104 bangunan lagi — artinya hampir seribu rumah hancur, menelantarkan seribu keluarga.

Diperkirakan sekitar 25 ribu warga Kamp Nur Shams dan Tulkarm kini mengungsi ke desa-desa dan kota sekitar, hidup dalam kondisi sosial ekonomi yang sangat sulit, dan belum terlihat solusi meski sudah setengah tahun berlalu.

Salameh menambahkan bahwa rencana pemerintah Palestina untuk membangun rumah darurat bagi para pengungsi kini terhenti sepenuhnya, karena ancaman pendudukan akan menghancurkan atau mengebom setiap upaya penampungan baru.

Rencana politik terstruktur

Para analis menilai penghancuran ini bukan semata-mata alasan keamanan, melainkan bagian dari rencana politik Israel untuk menciptakan “realitas baru” di Tepi Barat, sebagai persiapan menguasai penuh wilayah dan mendirikan negara Yahudi.

Menurut Suleiman Basharat, pakar urusan Israel, pendudukan berpacu dengan waktu untuk memanfaatkan situasi internasional yang mendukung pembantaian di Gaza agar bisa memaksakan kebijakan baru di Tepi Barat.

Basharat menjelaskan, Israel memanfaatkan narasi “perlawanan bersenjata” sebagai dalih, yang kemudian menutupi segala kejahatan baik di Gaza maupun di Tepi Barat. Akibatnya, rakyat Palestina semakin terisolasi, tak ada dukungan Arab, Palestina, maupun regional. “Warga sipil Palestina kini benar-benar ditinggalkan sendirian, hanya berpegang pada sisa-sisa ketabahan,” katanya.

Setiap kali Israel mengumumkan penghancuran rumah di Jenin, Tulkarm, atau Nur Shams, mereka mengklaim demi alasan keamanan. Namun, para analis membantah: tujuannya adalah menghapus identitas kamp, memecah kohesi sosial, mengubah demografi, dan akhirnya melebur kamp menjadi bagian dari kota. Jika model ini berhasil, Israel dapat menerapkannya ke kamp lain sebagai langkah untuk menyelesaikan proyek aneksasi penuh Tepi Barat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here