Hanya dalam sepekan sejak Selasa lalu, Israel membunuh 270 anak Palestina. Israel juga mengakui kembali menembak mati jurnalis di Gaza.
Organisasi pembela hak anak global, Save The Children, pada Selasa (25/3/2025) mengungkap data kematian anak Gaza sejak Israel kembali melancarkan pengeboman besar-besaran. Paling tidak 270 anak syahid sejauh ini.
Save The Children menyebut, serangan lanjutan Israel menjadi hukuman mati bagi anak-anak Gaza. ”Tidak ada bantuan, tidak ada keselamatan, tidak ada masa depan. Bom dijatuhkan, rumah sakit dihancurkan, anak-anak dibunuh, dunia diam,” demikian pernyataan Save The Children.
Sejak Israel menyerbu Gaza pada 8 Oktober 2023, 17.900 anak Gaza dipastikan tewas. Tidak ada perang abad 20 dan abad 21 lebih mematikan bagi anak-anak dibandingkan serangan Israel ke Gaza 15 bulan terakhir.
”Anak-anak bisa terbunuh saat tidur di tenda. Mereka dibuat kelaparan dan diserang. Satu-satunya cara menyelamatkan anak-anak dan keluarganya hanyalah dengan gencatan senjata,” lanjut Save The Children.
Gencatan senjata tahap I Israel dengan kelompok perjuangan Palestina berlaku pada 19 Januari-1 Maret 2025. Salah satu agenda gencatan itu seharusnya perundingan untuk gencatan senjata tahap II.
Iklan
Iklan
Sampai 17 Maret 2025, perundingan buntu. Israel dan Amerika Serikat menuntut Hamas dan kelompok perjuangan Palestina membebaskan seluruh tawanan dari Gaza. Israel-AS tidak menawarkan apapun untuk tuntutan itu.
Sementara Hamas meminta jaminan AS dan penengah lain bahwa Israel tak akan melanjutkan serangan ke Gaza. AS dan Israel tak bisa memberikan jaminan itu. Malahan Israel memulai lagi serangan besar-besaran ke Gaza sejak 18 Maret 2025.
Jet tempur, helikopter serbu, hingga tank Israel memuntahkan bom ke Gaza. Pasukan Israel juga kembali mulai menduduki lagi Gaza.
Pada Selasa (25/3) Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, memerintahkan tentara menduduki lebih banyak wilayah di Gaza. Ia menyalahkan Hamas, yang memperjuangkan kemerdekaan Palestina, soal perluasan pendudukan itu.
Perluasan pendudukan itu, menurut Katz, dampak perlawanan Hamas. Akhir pekan lalu, ia telah mengeluarkan perintah serupa kepada militer Israel atau tzahal.
Sementara dalam pernyataan terpisah pada Selasa, tzahal membenarkan telah membunuh jurnalis Al Jazeera, Hussam Shabat. Tzahal berkilah, Shabat pernah ikut latihan tempur dengan Hamas pada 2019. Karena itu, meski tidak mengangkat senjata bertahun-tahun dan sibuk menjadi jurnalis, Shabat dianggap sasaran sah untuk dibunuh.
Shabat tewas akibat serangan udara Israel pada Senin sore di Beit Lahia, Gaza. Bom Israel menghancurkan mobil yang ditumpangi Shabat dan sejumlah orang lain. Mobil itu ditandai secara mencolok dengan tulisan Al Jazeera dan Press.
Israel juga membunuh jurnalis lain di Gaza, Muhammad Mansour. Ia bekerja untuk Palestine Today TV.
Sejak menyerbu Gaza lagi, Israel sudah berulang kali membunuh jurnalis. Menurut Reporter Without Borders (RSF), Shabat salah satu jurnalis berdedikasi di Gaza.
Sebelum akhirnya tewas, RSF telah mengingatkan para jurnalis Al Jazeera di Gaza soal risiko pembunuhan terhadap mereka. Shabat termasuk yang diingatkan RSF.
Selama 15 bulan perang, menurut RSF, Israel bertanggung jawab pada kematian 200 jurnalis. Sebagian tewas saat bekerja, sebagian lain meninggal saat sedang istirahat.
Tak cuma jurnalis, para pekerja kemanusiaan juga jadi sasaran serangan Israel. Sepanjang Perang Gaza kali ini, sedikitnya 280 pekerja Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di Gaza tewas akibat serangan Israel.
Israel berulang kali menuding, jurnalis dan pekerja PBB atau organisasi kemanusiaan lain sebagai teroris. Walakin, Israel tak pernah bisa memberikan bukti kuat atas serangan mematikan itu.
Hal yang terjadi sebaliknya, justru Israel berulang kali terbukti salah bahkan sengaja menyasar para jurnalis atau pekerja kemanusiaan. Fasilitas kemanusiaan juga sering disasar.
Serangan terbaru terjadi pada rumah penampungan Palang Merah Internasional di Gaza. Israel mengakui salah mengenali rumah itu.
Sumber: AP, AFP, REUTERS