Spirit of Aqsa, Palestina- Ismail Ziad Momar (28 tahun), seorang dokter muda yang baru saja lulus. Pada satu momen, dia harus berhadapan seorang anak yang syok berat setelah kehilangan seluruh keluarganya di bawah reruntuhan. Peristiwa itu terjadi di selatan Rafah, Jalur Gaza.

Saat menolong bocah tersebut, Omar hanya tergagap memberikan jawaban. Dari bawah reruntuhan, bocah itu bertanya, “Di mana Mama? Di mana Ayah?” Sementara, debu dan puing-puing menutupi tubuh bocah itu, setelah secara ajaib bisa hidup dari bawah reruntuhan yang mengubur semua keluarganya.

Menurut Omar, itu merupakah satu dari banyak peristiwa menyakitkan dan berulang dan akan terus melekat dalam ingatannya. Apalagi, bocah tersebut merupakan langkah praktis pertamanya setelah lulus.

Adegan yang Menyakitkan

Dokter Omar adalah salah satu dokter yang menanggapi seruan Kementerian Kesehatan Palestina untuk menjadi sukarelawan di rumah sakit.

“Air terjun darah yang mengalir di Gaza, dan pemandangan para korban, anak-anak dan perempuan, mengharuskan kita masing-masing memberikan bantuan apa pun yang kita bisa untuk menghadapi agresi ini, dan saya tidak ragu sejenak untuk melakukannya. sukarela memberikan pelayanan medis kepada para korban di Rumah Sakit Abu Youssef Al-Najjar, satu-satunya di kota Rafah,” kata Omar kepada Al Jazeera, dikutip Senin (6/11).

Sesaat sebelum perang, Omar sudah selesai magang dan memenuhi syarat untuk bekerja sebagai dokter. Dia baru saja lulus dari Fakultas Kedokteran di sebuah universitas Sudan.

“Selama studi kedokteran saya di Sudan, saya mengajukan diri untuk bekerja di sebuah rumah sakit  untuk memberikan layanan kepada korban konfrontasi bersenjata di sana, namun apa yang saya lihat selama beberapa minggu terakhir di Gaza sangat mengejutkan, dengan anak-anak dan wanita yang tubuhnya tercabik-cabik,”

Dalam banyak adegan ini, obat-obatan tidak berdaya di hadapan mereka.Bagaimana seorang anak yang gemetar kesakitan dan ketakutan bisa ditenangkan ketika seluruh keluarganya menjadi martir? Omar bertanya dengan nada sedih, sambil menambahkan, “Sangat menyakitkan betapa besarnya penindasan yang kami rasakan di Gaza, dan dunia tidak melakukan apa pun untuk menghentikan pendarahan orang-orang yang tidak bersalah.”

Tidak Ada Kekebalan bagi Siapa pun di Gaza

Dalam konteks ini, dokter Amjad Fouad Aliwa mengatakan, ini adalah perang di mana “tidak ada seorang pun yang kebal.” Setiap orang di Gaza berisiko syahid atau terluka kapan saja.

Sementara, Dokter Eliwa harus menyaksikan seluruh keluarganya mengungsi dari Kota Gaza ke Rafah, menyusul ancaman dan peringatan Israel kepada penduduk Jalur Gaza utara. Dia menjadi sukarelawan di Rumah Sakit Persahabatan Turki-Palestina, satu-satunya rumah sakit khusus di bidang onkologi dan kanker.

Rumah sakit tersebut tidak dapat digunakan lagi dua hari yang lalu akibat serangan Israel dan kehabisan bahan bakar. Namun, hal ini tidak menghalangi dr. Eliwa untuk menjadi sukarelawan.

“Saya merasa sangat tidak berdaya dan kesakitan karena saya tidak dapat memberikan perawatan medis kepada pasien kanker di Rafah yang mengunjungi Rumah Sakit Al-Sadaqa, karena kurangnya dukungan alat dan obat-obatan,”

Penjajah Israel memaksa warga sipil ke Gaza selatan, lalu membombardir Gaza utara. Meskipun Gaza selatan tak luput dari pembantaian. Hal itu menghalangi bantua obat-obatan dan pasokan medis antar rumah sakit, hingga ambulans menjadi sasaran bom.

Apalagi, penjajah Israel memotong dua jalan utama yang menghubungkan wilayah utara dan Jalur Gaza bagian selatan. Para penjajah juga menempatkan tank-tank di Jalan Salah al-Din, dan menguasai Jalan Al-Rashid dengan senjata di sepanjang pantai laut.

Menyakitkan dan Mengejutkan

Lantaran motif patriotik dan kemanusiaan, Sondos Zorob, seorang perawat berusia 23 tahun, menjadi sukarelawan pada minggu pertama agresi untuk membantu para korban yang tidak bersalah. Dia mendapat dorongan dari keluarganya. “Negara ini membutuhkan semua upaya kita. Kemampuan kita lemah, tapi kita harus bersatu,” ujarnya.

Sondos mengalami guncangan hebat akibat melihat sisa-sisa anak-anak dan perempuan yang menjadi syahid akibat serangan udara yang menyasar rumah mereka. Kadang, ia tak bisa menahan air mata saat merawat para korban.

Beberapa kali, dia membutuhkan waktu untuk mendapatkan kembali ketenangan lalu kembali bekerja, berpindah dari satu orang yang terluka ke orang lain di dalam departemen dan di koridor rumah sakit. Itu karena tidak ada lagi tempat tidur kosong untuk menampung banyak orang yang terluka akibat agresi.

Sondos baru-baru ini lulus dari Fakultas Keperawatan di Universitas Islam Gaza.Dia menggambarkan pengalaman bekerja dalam perang sebagai pengalaman yang “menyakitkan dan mengejutkan.”

Gerilyawan Berbaju Putih

Pada gilirannya, Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan, Dr. Mounir Al-Barsh, menggambarkan para sukarelawan dokter, perawat, dan paramedis sebagai “gerilyawan yang heroik.” Dia mengatakan, ada tanggapan luas terhadap seruan kementerian untuk bergabung dengan rumah sakit.

Al-Barsh mengatakan, personel medis bekerja dalam keadaan luar biasa karena harus berhadapan dengan bahaya luar biasa. Rumah sakit beberapa kali mendapat serangan, bahkan ambulance dibom. Namun, kondisi itu tak menyurutkan semangat para relawan medis untuk merawat para korban dengan kemampuan terbaik mereka.

Personil medis juga menjadi sasaran pembantaian. Banyak dari mereka yang syahid dan terluka. Menurut dokumentasi Kementerian Kesehatan, 136 tenaga kesehatan menjadi syahid, 26 ambulans hancur, dan penjajah Israel menargetkan 102 institusi kesehatan. Akibat penargetan ini dan menipisnya bahan bakar, 16 rumah sakit dan 32 pusat layanan utama tidak dapat beroperasi.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here