Sejak serangan darat Israel di Gaza Utara dimulai pada 6 Oktober lalu, kawasan tersebut berubah menjadi ladang derita dengan blokade ketat dan serangan udara tanpa henti. Situasi ini menyebabkan kelaparan, memutus akses tim penyelamat, dan membuat tenaga medis tidak dapat menjalankan tugas mereka. Dari total 200 ribu penduduk, lebih dari separuhnya melarikan diri. Namun, sekitar 75 ribu orang masih bertahan di tengah kepungan, menurut data UNRWA.
Kisah Bertahan di Tengah Neraka
Salah satu cerita datang dari Yahya Qasem, seorang pria berusia 28 tahun dari Jabalia. Ia bersama keluarganya sedang menikmati makan malam sederhana saat suara ledakan serangan udara Israel menghancurkan keheningan. Malam itu menjadi awal dari strategi “bumi hangus” Israel yang bertujuan untuk mengosongkan Gaza Utara dan mengusir warga dari kawasan tersebut. Ketakutan akan invasi semakin nyata, hingga banyak keluarga, termasuk tetangga Qasem, melarikan diri tanpa alas kaki di bawah hujan tembakan. Namun, Qasem memilih bertahan meski keluarganya memutuskan mengungsi.
Menurut pengacara hukum internasional Yahya Muhareb, tindakan Israel di Gaza Utara, termasuk rencana militer yang disebut “Rencana Jenderal,” merupakan kejahatan perang dan pelanggaran berat terhadap hukum kemanusiaan internasional.
Korban Sipil Tak Terhitung
Laporan dari Mahmoud Basal, juru bicara Pertahanan Sipil Gaza, mencatat bahwa setidaknya 1.800 warga Palestina tewas akibat serangan Israel. Tim penyelamat tidak bisa menjangkau banyak korban karena kawasan itu dianggap terlalu berbahaya. Direktur Rumah Sakit Kamal Adwan, Dr. Hossam Abu Safia, mengungkapkan bahwa tidak ada ambulans yang dapat digunakan untuk menyelamatkan korban, sementara panggilan darurat terus berdatangan dari bawah reruntuhan.
Kisah Keluarga yang Terpisah
Amal Al-Masri, seorang ibu yang sedang mengandung anak ketiganya, mengalami mimpi buruk saat rumahnya hancur akibat serangan. Ia dan keluarganya berpindah dari satu tempat perlindungan ke tempat lain, sebelum akhirnya mereka dipisahkan oleh pasukan Israel. Amal melihat suaminya, Yusuf, diikat dan dipisahkan dari keluarga. Ketika akhirnya mendengar kabar bahwa suaminya masih hidup, Amal mengungkapkan bahwa Yusuf telah dijadikan perisai manusia oleh pasukan Israel.
Tragedi Tak Berujung
Kisah lain datang dari Ramez Abu Naser, yang kehilangan kedua orang tua dan dua saudara kandungnya akibat serangan udara Israel yang menghancurkan rumah mereka tanpa peringatan. “Saya mencoba menggali dengan tangan kosong untuk menyelamatkan keluarga saya,” kenangnya. Namun, upayanya tidak membuahkan hasil, dan ia terpaksa menguburkan anggota keluarganya di taman karena semua makam sudah penuh.
Penderitaan di Tengah Ketakutan
Bagi banyak keluarga, bertahan di Gaza Utara bukan karena pilihan, melainkan karena tidak ada tempat lain yang bisa dituju. Salah satunya adalah Hamzah, yang harus menguburkan kakeknya di bawah tangga rumah karena serangan tanpa henti. Setelah upaya melarikan diri yang penuh risiko, keluarganya akhirnya berhasil mencapai Gaza Selatan, namun trauma akan kehilangan tetap menghantui.
Kisah-kisah ini menggambarkan sisi kemanusiaan yang hancur di tengah perang yang tak kunjung usai. Gaza Utara kini menjadi simbol penderitaan yang membutuhkan perhatian dan tindakan segera dari dunia internasional.