Duduk dalam diam di rumahnya di Gaza City, Mohammed al-Haddad menatap sekantong kecil tepung di sampingnya. Pria 45 tahun ayah enam anak itu tahu sekantong tepung tersebut tak akan cukup untuk memberi makan keluarganya untuk sehari. Namun, hanya itulah yang mampu dibeli setelah membayar biaya komisi yang sangat tinggi hanya untuk mengambil gaji.
“Mengambil gaji menjadi sangat rumit karena biaya komisi yang melonjak selama perang,” kata al-Haddad, dikutip Antara.
Sejak pecahnya konflik Israel-Palestina di Gaza pada 7 Oktober 2023, 2,3 juta penduduk daerah kantong tersebut menghadapi krisis ekonomi dan kemanusiaan yang semakin parah.
Para ahli ekonomi menyebut sejumlah faktor, termasuk blokade, kolapsnya rantai pasokan, dan kurangnya pengawasan yang efektif, yang memicu rekor inflasi tertinggi, melumpuhkan daya beli, dan bahkan membuat komoditas paling dasar tidak terjangkau.
Jamil Abu Mahadi (33), seorang ayah tiga anak dari Gaza City, adalah salah satu dari sekian banyak warga Gaza yang terbebani oleh tingginya biaya untuk mengambil uang tunai.
“Jika saya menarik 500 dolar AS (1 dolar AS = Rp16.484), saya hanya menerima 250 dolar AS,” keluhnya sembari menambahkan, “Itu hampir tidak cukup untuk satu atau dua hari. Pengeluaran harian untuk sebuah keluarga kecil minimal 150 dolar AS.”
Dengan bank-bank yang sebagian besar tutup dan layanan keuangan resmi hampir lumpuh, banyak warga beralih ke pialang tidak resmi atau kantor pengiriman uang untuk mencairkan gaji atau remitansi mereka, namun dengan biaya yang mahal.
Sementara itu, upaya bantuan dan sumbangan yang tidak menentu dari kerabat atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) berkurang, tertekan oleh blokade dan penundaan administratif yang panjang dalam pengiriman bantuan.
Di sebuah jalan di Gaza City, Rawiya al-Ashi (39) mengaku dirinya hanya mampu membeli 1 kilogram tepung setiap hari. “Itu tidak cukup untuk satu kali makan,” kata ibu empat anak itu. “Saya tidak lagi memikirkan bagaimana cara hidup, hanya bagaimana caranya agar anak-anak saya bisa tidur tanpa kelaparan.”
Kolapsnya aktivitas perdagangan dan penutupan perbatasan telah menjerumuskan Gaza ke dalam apa yang digambarkan oleh para ekonom lokal sebagai “resesi yang parah.” Puluhan ribu orang kehilangan pekerjaan, dan sebagian besar usaha kecil hancur atau terpaksa gulung tikar akibat pengeboman, kelangkaan bahan bakar, atau kehabisan logistik.
Samir Abu Mudallala, seorang analis ekonomi yang berbasis di Gaza, mengatakan kepada Xinhua bahwa krisis likuiditas adalah salah satu aspek paling serius dari keruntuhan ekonomi yang lebih luas.
Dia mengaitkan kelangkaan likuiditas dengan operasi perbankan yang hampir berhenti total, kurangnya koordinasi dengan lembaga-lembaga keuangan di Tepi Barat, dan penangguhan pengiriman uang internasional karena blokade yang sedang berlangsung.
Abdul Karim Joda, seorang pemilik toko kelontong di Khan Younis, juga menyinggung tentang kesulitan para pedagang. “Kami membeli barang dalam jumlah kecil dengan harga dua kali lipat karena masalah pasokan dan membayar biaya transportasi yang tinggi,” ujarnya.
“Tidak ada yang untung. Warga dan pedagang sama-sama mengalami kesulitan.”
Dengan tidak adanya resolusi politik yang jelas dan permusuhan yang kian meningkat, organisasi kemanusiaan mengatakan kemampuan mereka untuk menanggapi kebutuhan penduduk menurun dengan cepat.
Amjad al-Shawa, kepala Jaringan LSM Palestina, mengatakan, “Respons kemanusiaan tidak sesuai dengan kebutuhan. Kami menyerukan agar akses bantuan dan perlindungan internasional segera difasilitasi dan diberikan kepada warga sipil, terutama perempuan dan anak-anak.”
Dia mendesak masyarakat internasional untuk memprioritaskan gencatan senjata dan membuka kembali penyeberangan perbatasan untuk menyalurkan makanan, obat-obatan, dan bahan bakar.
“Kelaparan tidak bisa ditunda. Penyakit tidak bisa ditunda. Dan anak-anak tidak mengerti politik,” ujarnya.