Ada indikasi kuat bahwa Amerika Serikat dan Israel mulai bergerak untuk melucuti senjata pejuang Palestina tanpa masuk ke tahap kedua dalam perjanjian gencatan senjata, fase yang mengharuskan penarikan penuh pasukan pendudukan dari Gaza. Para analis menilai hal ini terjadi karena Washington gagal membentuk kekuatan internasional untuk menjaga stabilitas.

Enam minggu sejak perjanjian berlaku, serangan harian Israel masih berlangsung di berbagai wilayah Gaza. Seluruh perlintasan darat tetap ditutup, dan bantuan kemanusiaan dibatasi secara ekstrem.

Pada saat yang sama, pembahasan mengenai dimulainya tahap kedua praktis hilang dari meja. Israel bersikeras menempatkan pelucutan senjata Hamas sebagai prioritas utama, sesuatu yang belum pernah diterima secara resmi oleh pihak pejuang, menurut Ibrahim Fraihat, pengajar studi konflik internasional di Doha Institute.

Fraihat menjelaskan kepada Al Jazeera bahwa perlawanan hanya menerima fase pertama yang mencakup penghentian perang dan penyerahan tawanan, tetapi mereka tidak pernah menyetujui fase pelucutan senjata. Fase itu, katanya, membutuhkan negosiasi rinci: mekanisme pelaksanaan, pihak yang akan menerima senjata, serta konsekuensi politik dan keamanan setelahnya.

Awal Pelucutan Senjata

Saat ini, menurut Fraihat, AS dan Israel tampaknya tidak berniat membuka ruang perundingan soal isu tersebut. Keduanya disebut sudah mulai bergerak menuju pelucutan senjata tanpa persetujuan pihak Palestina.

Bagi Hamas, pelucutan senjata adalah salah satu tujuan strategis Israel sejak awal perang. Analis isu Israel, Mohannad Mustafa, menyebut Perdana Menteri Benjamin Netanyahu ingin menunjukkan kepada warga Israel bahwa ia berhasil mencapai misi itu melalui rencana Presiden AS Donald Trump—terutama karena Netanyahu telah memasuki musim politik yang sensitif.

Mustafa menilai Netanyahu, yang kini berstatus buronan Mahkamah Pidana Internasional, akan terus menggunakan tekanan militer dan tekanan kemanusiaan untuk memaksa semua pihak menempatkan pelucutan senjata sebagai syarat utama sebelum memasuki fase kedua.

Jika fase kedua tidak dibuka dengan pelucutan senjata, Mustafa memperkirakan Netanyahu akan meningkatkan operasi militernya. Status quo (dengan Hamas masih menguasai separuh Gaza) dipandang Netanyahu sebagai kegagalan strategis yang tidak bisa ia terima.

Lebih jauh lagi, Mustafa mengatakan Netanyahu kemungkinan berupaya mempertahankan perjanjian saat ini tanpa menarik pasukannya. Ia mungkin bersedia menerima rekonstruksi di wilayah Gaza yang berada di bawah kontrol Israel, sambil tetap melakukan operasi harian di wilayah yang dikuasai Hamas.

Analis strategi dan keamanan internasional, Kenneth Katzman, menyampaikan pandangan serupa. Ia bahkan meyakini bahwa “hari-hari Hamas di Gaza terhitung tinggal sedikit, apa pun cara Israel mengakhirinya.”

Katzman menilai, sekalipun Israel tidak menggunakan kekuatan langsung untuk melucuti senjata Hamas, pembangunan kembali dan penyediaan fasilitas hidup yang lengkap di wilayah yang dikuasai Israel akan menekan warga Gaza di wilayah Hamas untuk mendesak kelompok itu keluar agar mendapatkan akses hidup yang layak.

Dengan kondisi seperti itu, transisi menuju tahap kedua bukan hanya sulit, tetapi juga berlangsung dalam konteks yang tidak damai, dan mengarah pada pembelahan Gaza, menurut Katzman.

Arah Pembelahan Gaza

Fraihat menilai akar persoalannya kini terletak pada langkah AS yang mendorong Dewan Keamanan PBB memperluas mandat pasukan penjaga perdamaian yang rencananya ditempatkan di Gaza. Mandat itu mencakup penggunaan kekuatan (termasuk menghadapi Hamas) yang membuat banyak negara enggan terlibat.

Dalam kondisi ini, kata Fraihat, pihak perlawanan maupun Otoritas Palestina tidak memiliki ruang untuk menerima atau menolak skenario pembelahan Gaza. Mereka sama-sama tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan kunci terkait kelanjutan perpecahan internal Palestina.

Pilihan yang tersisa, menurut Fraihat, adalah membuka negosiasi langsung dengan AS untuk memastikan perlindungan terhadap hak-hak warga Palestina dan mencegah perluasan proyek kolonial. Ia mengingatkan bahwa rencana Trump membawa banyak risiko karena memadukan agenda kemanusiaan dengan tujuan keamanan.

Adapun delegasi tingkat tinggi Hamas telah mengunjungi Kairo pada Ahad lalu untuk bertemu Kepala Intelijen Mesir, Hasan Roshad. Pertemuan itu membahas transisi ke tahap kedua dan situasi di lapangan.

Dalam pernyataannya, Hamas menegaskan kepada Mesir sebagai mediator bahwa mereka “tidak dapat menerima kelanjutan pelanggaran Israel” yang berpotensi menggagalkan perjanjian.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here