Spirit of Aqsa, Palestina – Surat kabar The Wall Street Journal Amerika menyatakan, rakyat Palestina di wilayah pendudukan dan di Israel mengalami keterpisahan panjang, dan menghadapi tantangan berbeda, namun saat ini mereka mendapati satu tujuan dan satu suara bersama, pasca eskalasi militer Israel ke Al-Quds dan Jalur Gaza.

Surat kabar menyebutkan, konflik Palestina – Isral telah berlangsung selama beberapa generasi, namun eskalasi terakhir telah menciptakan sesuatu yang baru, dimana rakyat Palestina bersatu, baik di Tepi Barat, Gaza dan wilayah jajahan, sejak berdirinya Israel tahun 1948.

Eskalasi ini elah melahirkan suara dan potensi baru di kalangan pemuda Palestina di segenap wilayahnya, dimana mereka terus melanjutkan perjuangan menuju masa depan, yang menjadi tantangan besar bagi penjajah Israel dibandingkan sebelumnya, terutama berkatan dengan klaim berakhirnya eksistensi negara yahudi.

Menurut Sahir Asad, pengacara Palestina di kota Haifa yang membela warga Palestina di wilayah 48, yang ditangkap saat eskalasi terakhir, bahwa ekalasi ini yang pertama kalinya mampu menyatukan semua elemen Palestina sejak beberapa decade, yang menolak menyerahkan hak-hak Palestina.

Menurut surat kabar Amerika, perasaan kesatuan tujuan di kalangan Palestina makin meningkat, di tambah meledaknya situasi keamanan dan militer di pelataran Masjidil Aqsha dan distrik Syekh Jarrah di Al-Quds dan di Gaza, yang dilakukan pemerintahan PM Israel Benyamin Netanyahu yang tergabung dalam kelompok sayap kanan ekstrim yahudi.

Hal ini pernah ditegaskan oleh Musthafa al-Bargutsi, mantan menteri informasi Palestina, dan ketua partai Inisiatif Nasional, yang berpendapat bahwa tindakan represif terhadap rakyat Palestina akan menciptakan perjuangan bersatu.

Sementara itu kalangan pemuda Palestina, yang diwawancarai surat kabar Amerika, menyatakan bahwa jalan perjuangan di hadapan mereka makin jelas, sebagian dari mereka menyerukan untuk mengakhiri penjajahan, dan mengembalikan semua wilayah Palestina. Sementara warga Palestina lanjut usia yang telah menyaksikan banyak pertempuran dan pertumpahan darah memilih upaya damai lewat perdamaian dengan Israel.

Menurut Yosi Belen, aktifis sayap kiri Israel dan arsitek perundingan Oslo pertengahan tahun 90-an, dan mantan wakil menlu Israel saat itu, bahwa sejumlah prediksi di kalangan pemuda Palestina saat ini menjadi ancaman yang mengkhawatirkan.

Menurut Yosi, Israel merupakan merupakan negara dengan militer terkuat di kawasan, sehingga tak mungkin hancur, selagi Israel menginginkan perdamaian maka saya akan berupaya untuk menentang solusi satu negara.

Di lain pihak, Wall Street menyatakan, Intifadah Baru di sebagian besar wilayah Palestina terjajah, dan di internal Israel, buka semata melawan Israel, namun juga melawan pimpinan otoritas Palestina, yang menurut para demonstran sebagai otoritas yang rusak dan buruk citranya disebabkan kerjasama keamanan dengan Israel.

Sementara itu pihak perlawanan Islam (Hamas) yang telah menghujani sejumlah kota Israel dengan ribuan roketnya di sepanjang dua pekan lalu, mendapatkan dukungan luas dari kalangan Palestina, sampai dari kalangan yang berbeda ideology dan mereka yang tidak tinggal di bawah kendali Hamas di Gaza.

Ahmad Majdalani, tokoh yang dekat dengan kepala otoritas Palestina Mahmud Abbas, merangkum pernyataannya bahwa kondisi saat ini di tengah perkembangan terakhir, jika kita tak mampu memberikan sesuatu yang nyata bagi bangsa Palestina, kita akan berakhir.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here