Spirit of Aqsa, Palestina –  Di antara peristiwa pada Desember yang paling menonjol dalam mengenang perjuangan Palestina adalah pecahnya Intifadhah. Sebuah tonggak sejarah dalam sejarah perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan penjajah Zionis.

Semuanya tampak baik-baik saja pada tanggal 8 Desember 1987, sampai seorang imgiran gelap yahudi yang mengendarai truk berat dengan sengaja menabrak 4 pekerja Palestina dari kamp pengungsi Jabalia. 4 warga Palestina itu syahid di tempat.

Sehari setelah insiden tersebut, demonstrasi rakyat meletus di seluruh Jalur Gaza dan Tepi Barat. Semua aksi demo dihadapi penjajah Israel dengan tindakan represif, yang menyebabkan seorang mahasiswa Palestina syahid dan puluhan lainnya luka-luka.

Perlawanan rakyat dimulai dengan penggunaan batu terhadap patroli pendudukan Israel. Kemudian bom molotov dan pisau, dan berakhir dengan aksi-aksi berani mati bersenjata yang membingungkan perhitungan keamanan entitas pendudukan Israel.

Ciri terpenting dari Intifadhah Batu atau Intifadhah Pertama adalah bahwa intifadhah ini menyusup ke dalam pikiran orang-orang di dunia sebagai tindakan rakyat dan revolusioner yang menjadi model kemarahan pada pendudukan dan penjajahan kolonialisme terakhir.

Selama tujuh tahun intifadhah, tentara pendudukan Israel dan para imigran ilegal Yahudi telah membunuh lebih dari 1.500 warga Palestina dan menangkap lebih dari 100.000 lainnya.

Pergeseran dan Perubahan Strategis

Puluhan ribu orang Palestina pada tahun 1970-an dan 1980-an bekerja di berbagai bidang lapangan kerja di kota-kota besar dan kecil di entitas pendudukan Israel, yang hampir merupakan satu-satunya peluang mata pencaharian bagi mereka.

Keadaan tenang sementara dalam masyarakat Palestina sebelum pecahnya Intifadhah pada tahun 1987, disertai dengan peningkatan koloni permukiman dan pengejaran semua orang yang berpartisipasi dalam setiap aksi nasional, sampai Intifadhah meledak.

Taysir Muhaisen, seorang analis politik, menegaskan, intifadhah batu merupakan tahap penting dalam sejarah perjuangan rakyat Palestina.

“Israel sudah tenang dengan hal-hal di dalam wilayah pendudukan. Akan tetapi pecahnya intifadhah adalah perubahan dan pergeseran strategis dalam hubungan antara rakyat Palestina dan penjajahnya di Gaza, Tepi Barat, dan wilayah Palestina 48.”

Para pemuda yang marah sejak hari pertama intifadhah mengumpulkan stok kemarahan dari Nakbah tahun 1948 sampai 1987. Jalan-jalan berubah menjadi arena konfrontasi antara mereka dan pasukan patroli pendudukan Israel.

Beberapa bulan setelah pecahnya Intifadhah Batu, sebuah kepemimpinan terpadu dibentuk dari para pemimpin aksi nasional dan rakyat di dalam dan luar negeri, dan lahirlah salah satu gerakan Palestina yang paling penting yaitu gerakan Hamas, pada 14 Desember 1987.

Ibrahim Habib, seorang analis politik, berpendapat bahwa intifadhah merupakan kondisi inspirasi revolusioner bagi rakyat Palestina setelah istirahat sejenak bagi pendudukan Israel di saat revolusi Palestina melemah.

Kondisi sosial dan ekonomi penduduk Gaza dan Tepi Barat baik-baik saja, dengan penolakan mereka secara intelektual dan politik terhadap realitas pendudukan. Oleh karena itu, orang-orang Palestina segera bergegas dengan momentum besar ini untuk berpartisipasi dalam intifadhah sejak hari pertama aksi perlawanan rakyat ini diluncurkan.

“Partisipasi komprehensif di seluruh tanah Palestina menegaskan bahwa orang-orang bersatu dalam menentukan nasib yang tidak mungkin dikotak-kotak. Kemudian terjadi pengorganisasian aksi dari faksi-faksi nasional, maka Hamas muncul sebagai inti dari aksi militer yang kemudian terus berkembang,” kata Habib.

Menggagalkan Intifadhah

Penjajah Israel menanggapi dengan sepenuh kekuatan terhadap intifadhah batusejak  awal. Yitzhak Rabin, mantan menteri pertahanan Israel, mengumumkan kebijakan ‘mematahkan tulang’ untuk mengintimidasi orang-orang Palestina.

Kemarahan rakyat di kota-kota dan kamp-kamp pengungsi Palestina menyusup ke media-media yang melaporkan peristiwa tersebut ke seluruh penjuru dunia. Rakyat Palestina mendapatkan simpati luar biasa dengan masuknya kata “intifadhah” ke dalam kamus mereka yang menolak penindasan kolonialisme dan pendudukan.

Analis Muhaisen menyatakan, pecahnya Intifadah Batu berdampak pada orientasi kebijakan Israel dalam menangani masalah Palestina, dan berdampak tren internasional karena terjadinya pergeseran dan perubahan yang mendadak.

Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) berusaha menggunakan apa yang terjadi di dalam wilayah pendudukan untuk menghasilkan kerja perjuangan, pada saat pendudukan Israel fokus menggambarkan apa yang terjadi sebagai kondisi kekerasan dan terorisme untuk mendukung visi keamanannya.

Analis Muhaisen mengatakan, intifadhah belum menghasilkan capaian strategis yang besar. Akan tetapi telah membangun inti yang kuat dan solid bagi aksi perlawanan di Gaza, yang saat ini merupakan bagian penting dalam perimbangan konflik.

Kurang dari tujuh tahun kemudian, lahirlah perjanjian “Oslo” sebagai upaya untuk menggugurkan bayi revolusi rakyat, di mana pendudukan tidak menemukan solusi bagi revolusi tersebut kecuali melarikan diri ke depan dari pintu gerbang kompromi, yang terbukti mengalami kegagalan dari tahap pertama.

Analis Habib menjelaskan, pendudukan Israel berkepentingan untuk menghindari intifadhah, sehingga datang dengan kesepakatan “Oslo” setelah ketidakmampuannya menghadapi anak-anak dan pemuda Palestina yang marah menggunakan sarana primitif.

“Jika orang-orang Palestina dibiarkan dalam intifadhah, dan Kesepakatan Oslo tidak ditandatangani, hasilnya akan lebih baik bagi perlawanan, karena waktu berlalu dan krisis entitas meningkat akibat kondisi kemarahan rakyat,” kata Habib.

Intifadhah Batu tahun 1987 bukanlah peristiwa biasa dalam sejarah  perjuangan rakyat Palestina. Peristiwa ini telah menghidupkan kembali aksi nasional dan mendorong ribuan rakyat Palestina untuk berpartisipasi secara nasional dalam mendukung sebuah isu yang dibawa oleh para kakek-nenek kepada cucu-cucu mereka. (Palinfo)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here