Dalam tulisan yang mengguncang hati dan sarat kejujuran, Abdullah Al-Jazzar, mahasiswa asal Gaza, menuturkan kisah kepergiannya menuju Irlandia, perjalanan yang ia sebut sebagai “pengasingan dengan rasa bersalah.”

Dengan hanya membawa sebuah tas kecil dan kenangan yang tak terbendung, ia meninggalkan ibu, saudara, dan kota yang digerogoti perang dan kelaparan, setelah mendapat beasiswa dari Universitas Maynooth.

Dalam esainya di majalah Israel +972, Abdullah menulis bagaimana antara harapan dan rasa malu, ia berlatih meninggalkan rumahnya seperti adiknya yang belajar menerbangkan layangan.

“Kini, pelatihannya usai, ini saatnya benar-benar pergi,” tulisnya. Ia tak ingin terlihat seperti pelarian, tapi baginya, “pergi dengan martabat” adalah ungkapan yang telah kehilangan makna.

Ia berbohong pada tukang cukur (mengaku hendak melamar gadis yang dicintai) hanya agar tampak rapi di hari perpisahan. Saat menatap cermin, ia melihat wajah saudaranya, Nur, polisi yang hilang di Khan Younis, seolah minta izin untuk meninggalkan Gaza.

Dalam perjalanan menuju perbatasan Karem Abu Salem, Abdullah menahan air mata. Ia mencium tangan ibunya, memeluk adiknya yang masih kecil, dan berbisik, “Jaga ibu, ya.” Ia tak berani menoleh. “Aku pergi menuju kedamaian,” tulisnya, “sementara mereka tetap di sana, sandera perang dan lapar.”

Di sisi Israel dari perbatasan, petugas kedutaan Irlandia tampak seperti malaikat: sebotol air, selembar visa, secuil kehidupan yang baru. Sementara di kepalanya bergema satu tanya: bagaimana seseorang bisa selamat dari tanah airnya sendiri?

Kini Abdullah menempuh studi magister di Irlandia dan menjadi koordinator program mahasiswa Gaza. Namun dalam mimpinya, ia masih melihat Nur, mengajaknya terbang bersama. “Aku menyimpan tempat untukmu di dekat jendela,” tulisnya, “beritahu saja di mana kau berada, dan aku akan datang menjemputmu.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here