“Kami tidak akan menukar rumah dan tanah kami dengan taman gantung. Kami ingin kamp kami kembali seperti semula, dan kami tidak akan menerima selain itu,” tegas Nihad Shawish, Ketua Komite Layanan Kamp Nur Syams, mewakili warga menanggapi kunjungan Koordinator AS untuk Tepi Barat, Michael Fenzel, bersama Menteri Dalam Negeri Palestina Ziyad Hab Al-Reeh, serta sejumlah pejabat lainnya.
Kunjungan ini bertujuan membahas ide rekonstruksi kamp yang dihancurkan oleh pendudukan Israel, sebagai persiapan kepulangan para pengungsi. Namun, Komite Layanan langsung menolak untuk hadir dalam pertemuan yang juga dihadiri Gubernur Tulkarem, Abdullah Kamil, pada Selasa siang. Mereka menolak gagasan ini sepenuhnya, menilainya sebagai upaya menyelundupkan visi Israel tentang masa depan kamp.
Dalam keterangannya kepada Al Jazeera Net, Shawish menegaskan, mereka menolak rencana meratakan jalan di atas reruntuhan rumah warga. Baginya, keputusan tertinggi tetap di tangan penduduk kamp: semua pengungsi harus kembali ke rumah mereka, bukan hanya sebagian.
Skenario Berbahaya
Shawish menjelaskan, rencana kunjungan Fenzel sangat berbahaya karena ingin menjadikan Nur Syams sebagai “model percontohan”. Jika berhasil, pola ini akan diterapkan di kamp-kamp lain, bukan hanya di Jenin dan Tulkarem, tapi di seluruh Tepi Barat.
Menurut Shawish, rencana Fenzel hendak membangun jalan-jalan baru di atas puing rumah-rumah yang dihancurkan — ide ini sejatinya adalah kelanjutan dari rencana militer Israel untuk mengosongkan kamp dari penghuninya, mencegah mereka kembali, lalu mengubahnya menjadi kawasan permukiman biasa, dan pada akhirnya menghapus sepenuhnya identitas kamp.
Data Komite Layanan Nur Syams menyebutkan, pendudukan Israel telah mengusir 400 keluarga (sekitar 2.000 orang) dari kamp. Hingga kini, mereka tidak diizinkan kembali ataupun membangun rumah di atas tanah yang diratakan buldoser Israel selama lebih dari 5 bulan operasi militer.
Warga kamp menegaskan: siapa pun yang mengusulkan solusi harus terlebih dulu memaksa Israel mundur sepenuhnya dari kamp, lalu membangun kembali semua rumah, sebagaimana bentuk aslinya sebelum dihancurkan.
“Orang-orang ingin kamp mereka seperti dulu: dengan jalan-jalannya, kliniknya, dan rumah-rumah mereka,” kata Shawish. “Nur Syams adalah tempat singgah sebelum kami kembali ke desa-desa dan kota-kota asal kami yang diusir sejak 1948. Setelah berbulan-bulan menderita dan terusir, kami tidak akan menerima dihapusnya identitas kamp, tidak akan menerima jalan-jalan baru atau rumah yang setengah-setengah. Lalu ke mana ribuan pengungsi lainnya akan pergi?”
Kurangnya Perhatian Resmi
Para pengungsi juga menuduh pemerintah Palestina lalai menyelesaikan masalah mereka dan gagal menjamin hak-hak dasar, termasuk menyediakan tempat tinggal yang layak atau bantuan biaya sewa.
Kemarin, seruan protes diluncurkan agar para pengungsi turun ke pusat Kota Tulkarem pada Rabu besok, menuntut pemerintah Palestina bertanggung jawab dan segera menawarkan solusi menyeluruh.
Bagi warga Nur Syams, rencana AS bukan solusi nyata. Pendudukan telah meratakan seluruh area penting di kamp, seperti Al-Manshiya dan Al-Maslak, memaksa keluarga-keluarga besar seperti Ghanam, Al-Jundi, Abu Salah, dan Shahada mengungsi.
Nihayah Al-Jundi, seorang pengungsi dari Nur Syams, menegaskan, “AS menawarkan perbaikan infrastruktur kamp, tapi semalam Israel justru membakar gedung berisi lima apartemen. Tidak ada rekonstruksi yang akan kami terima jika tidak memastikan kembalinya semua pengungsi ke kamp.”
Benturan Kepentingan
Gubernur Tulkarem Abdullah Kamil menilai kunjungan Fenzel adalah “langkah awal” untuk memecahkan masalah kamp di Tepi Barat utara, dimulai dari Nur Syams. Ia menyebut, rencana AS meliputi pembangunan ulang jaringan air, listrik, sanitasi, pembenahan jalan, hingga pembersihan reruntuhan rumah yang dihancurkan Israel.
Kamil mengungkap, Fenzel memastikan bahwa militer Israel telah selesai dengan operasi militernya di Nur Syams, sehingga kamp ini akan dijadikan “titik awal” rekonstruksi, sebelum merambah kamp-kamp lain.
Namun, Kamil mengakui, proses pembangunan rumah yang dihancurkan masih menemui jalan buntu, sebab AS menyampaikan bahwa Israel menolak sepenuhnya pembangunan ulang rumah dengan alasan “keamanan”. Meski begitu, Kamil menyebut persoalan ini masih akan dibahas pada tahap berikutnya.
Menurut Kamil, pihak Palestina harus berjuang di semua level untuk menghapus jejak agresi Israel di kamp-kamp. Namun, ia menekankan pentingnya tetap berpegang pada prinsip dasar dan nilai kamp sebagai simbol perlawanan dan identitas.
Ia juga menyebut Israel menolak terlibat atau mengizinkan UNRWA (Badan PBB untuk Pengungsi Palestina) kembali ke kamp atau ikut serta dalam rencana ini.
Kamil menambahkan, ada kemungkinan akan dibangun pusat keamanan Palestina di kamp sebagai bagian dari upaya mengembalikan ketertiban — rencana yang sebelumnya diusulkan Otoritas Palestina sebelum dimulainya operasi militer Israel “Tembok Besi”.
Terakhir, Kamil menekankan, tanggung jawab Otoritas Palestina adalah memastikan semua pengungsi mendapatkan tempat tinggal yang layak, baik di dalam kamp maupun di luar, dan tidak boleh ada yang dibiarkan tidur di jalan.