Indonesiainside.id- Bagaimana malam itu ketika Anda kehilangan keluarga? Di mana Anda berada? Pertanyaan ini diajukan oleh jurnalis Gaza, Waad Abu Zaher, melalui unggahan di halaman Facebook kepada warga Gaza yang kehilangan orang-orang tercinta akibat serangan Israel yang terus berlangsung di wilayah tersebut selama lebih dari 10 bulan.
Lantaran pertanyaan tersebut memiliki resonansi yang sulit bagi orang-orang dan jawabannya yang lebih sulit, sekitar 4 ribu orang menuliskan cerita dan perasaan tentang momen perpisahan yang menyakitkan saat menerima berita tentang keluarga mereka yang syahid.
Dr. Ezz Eldin Lolo merespons unggahan jurnalis Abu Zaher dengan menceritakan saat menerima berita tentang keluarganya yang syahid. Dia menulis, “Saya terjebak di dalam Rumah Sakit Al-Shifa setelah menjadi sukarelawan sebagai mahasiswa kedokteran di bagian darurat.”
Selama pengepungan, semua komunikasi dan internet terputus. Dr Ezz Eldin Lolo tidak tahu apa yang terjadi di luar. Kemudian, dia menerima panggilan dari seorang dokter di Rumah Sakit Al-Mamdani yang mengabarkan keluarganya telah syahid.
“Semoga Allah memberikan kesabaran atas kehilangan keluargamu, rumahmu telah dibom, ayahmu, saudaramu, istrinya dan anak perempuan mereka, nenekmu, paman-pamanmu, dan istri serta anak-anak mereka berada di bawah reruntuhan. Ibumu satu-satunya yang selamat dengan luka-luka, mereka mengeluarkannya dari reruntuhan dan sekarang dalam perawatan,” kata dokter itu kepada Dr Ezz Eldin Lolo.
Sementara itu, Muhammad mengakui pertanyaan tersebut sangat sulit. Dia bercerita tentang keluarganya yang meminta dibuatkan tenda untuk mengungsi sementara. Ia berjanji akan memenuhi permintaan tersebut.
“Namun dia mendahuluiku dan membawa kain kafan untuk dirinya, anak-anaknya, istrinya, dan kerabatnya. Banyak panggilan masuk ke ponselku tetapi salah satu panggilan yang saya terima dari anaknya yang selamat, Mahmoud, mengatakan bahwa mereka dibom oleh Israel dan semuanya syahid di depan matanya saat mereka menghembuskan nafas terakhir. Saya hanya bisa diam,” ujarnya.
Jihad Hales menanggapi pertanyaan itu dengan mengatakan, “Andai itu hanya satu malam, tetapi itu adalah malam-malam panjang di mana saya kehilangan orang-orang terkasih dan teman-teman, yang membutuhkan umur panjang untuk sembuh dari kehilangan mereka, dan saya tidak akan sembuh!! Saya kehilangan sekitar 200 orang dari keluarga saya dan puluhan teman serta orang terkasih!”
“Ah, sakitnya hatiku..” dengan ungkapan penuh rasa sakit ini, Abu Yusuf menulis ceritanya, “Saya melihat roket itu jatuh pada mereka, saya pikir saudara perempuanku yang akan syahid, tetapi ternyata istri, anak-anak perempuan, saudara perempuanku, suaminya, dan anak-anak mereka yang syahid.”
Sementara itu, Dima Hani adalah bagian dari cerita ini, mengalami dengan semua detailnya. Dia mengatakan, “Saya berada di tempat yang sama dengan mereka, mereka mengeluarkan saya sementara keluarga saya tetap di bawah reruntuhan, 18 syahid, semuanya di bawah reruntuhan, dan saya satu-satunya yang selamat. Saya hampir mati setiap saat mereka di bawah reruntuhan, dan saya keluar sementara mereka masih di sana. Saya masih merasa sakit setiap hari seperti hari pertama.”
Nevin menceritakan kisah bagaimana dia hidup di antara harapan dan keputusasaan selama berbulan-bulan untuk mengetahui nasib keluarganya. Namun pada akhirnya dia menemukan mayat-mayat mereka yang membusuk dan mengenali mereka dari kartu identitas.
Semua cerita di Gaza mirip karena alat pembunuhnya sama, yaitu alat Israel yang tidak membedakan siapa pun. Tidak mungkin satu laporan bisa menyoroti besarnya penderitaan warga Gaza yang telah mereka alami selama lebih dari 10 bulan karena pendudukan Israel, tetapi cerita-cerita ini akan tetap menjadi saksi atas kejahatan Israel terhadap rakyat yang terkurung dan dibunuh setiap hari.