Spirit of Aqsa- Di kota yang dilanda pembantaian, cinta tetap bersemi. Di tengah reruntuhan dan kematian, kehidupan mencoba tumbuh.
Hala dan Mohammed, dua jurnalis yang bertugas meliput peristiwa berdarah di Gaza, bertemu di medan tugas. Selama setahun, mereka berbagi kisah dan akhirnya melangkah ke jenjang pernikahan meski berada di tengah kehancuran. Bagi Hala, pernikahan di masa perang adalah bentuk perlawanan.
“Mengapa menunggu waktu yang lebih baik yang belum tentu datang? Cinta adalah bentuk perlawanan, dan keputusan saya adalah wujud kekuatan dan tantangan,” ujar Hala, dikutip Al Jazeera.
Menikah di Tengah Kekacauan
Hala menggambarkan pertunangan mereka sebagai masa yang penuh keterbatasan. Tidak ada rumah besar, pesta meriah, atau stabilitas. Namun, cinta mereka menjadi pelipur lara. “Kami berbagi makanan sederhana seolah itu pesta besar,” kata Hala. “Cinta kami adalah rumah dan tempat perlindungan.”
Sementara itu, Huda dan Mahmoud bertemu di tempat pengungsian. Meski berada dalam kondisi sulit, Huda tetap menikmati hari pernikahannya. Ia mengenakan gaun pengantin putih, pergi ke salon, dan merayakan bersama keluarga terdekat. “Saya membagi barang-barang pengantin ke beberapa rumah untuk memastikan semuanya tetap aman,” ujarnya.
Namun, tidak semua cerita berakhir manis. Iman, yang menikah 40 hari sebelum perang, harus berpisah dengan suaminya. “Tinggalkan kamp ini, aku akan tetap di sini,” kata sang suami. Iman kemudian mengungsi bersama ibu mertuanya, hanya membawa satu koper kecil. Setelah beberapa hari, ia mengetahui dirinya hamil tetapi tidak bisa memberi kabar bahagia itu karena kehilangan kontak dengan suaminya.
Pernikahan yang Tertunda
Saher Ayad, yang bertunangan lima hari sebelum perang dimulai, menghadapi tantangan berat. Apartemennya hancur, dan bisnisnya musnah. Meski sering menunda pernikahan, ia memutuskan untuk tetap menikah setelah sembilan bulan bertunangan. Namun, serangan mendadak Israel mengacaukan semua rencana. Salon, toko, dan penyedia layanan lain yang ia pesan terpaksa tutup. “Saya menyelesaikan pernikahan ini meskipun harus melawan kehendak pendudukan,” ujarnya.
Penjual Gaun dan Tukang Rias Bertahan
Di tengah kehancuran, toko gaun pengantin tetap buka meski lokasinya rusak parah. “Kami membuka toko untuk membantu para pengantin di tengah situasi sulit ini,” kata Abdul Majid, pemilik toko. Namun, ia sering menerima telepon pembatalan dengan alasan tragis: kematian mempelai pria.
Di salon kecantikan, pemiliknya, Reem, menyesuaikan jadwal kerja dengan ketersediaan listrik dari panel surya. Ia menurunkan biaya rias pengantin demi meringankan beban para pengantin yang mencari kebahagiaan kecil di tengah duka.
Sementara itu, Abdul Latif, mantan penjual bunga, kini membawa perlengkapan pernikahan seperti dekorasi, bunga, dan kursi dengan gerobak. “Meski toko saya hancur, saya mencoba bangkit dengan apa yang tersisa,” katanya.
Meski perang terus berlangsung, lebih dari 2.500 pasangan menikah di Gaza dan sekitarnya dalam sepuluh bulan terakhir. Namun, banyak pula pasangan yang terpaksa berpisah karena jarak dan kekacauan perang.
Sumber: Al Jazeera