Spirit of Aqsa- Menjelang musim panas di Jalur Gaza, krisis semakin parah dan penderitaan semakin terlihat jelas. Banyak orang tinggal di tenda-tenda atau di tempat terbuka, tanpa akses ke hak-hak dasar, dan menghadapi ancaman pembunuhan setiap hari dalam genosida yang disaksikan dunia.
Penderitaan dimulai sejak pengungsian, jauh dari rumah dan desa. Namun, derita itu semakin parah dengan datangnya gelombang panas. Penghuni tenda mengatakan, tenda-tenda itu bagaikan oven, bahkan lebih panas.
Saat memulai pembantaian pada 7 Oktober 2023, Israel mengumumkan penghentian pasokan bahan bakar, listrik, dan air ke Gaza, dan menyebut penduduknya sebagai “hewan manusia.”
Kondisi Mengerikan dan Ancaman Beragam
Para pengungsi tidur di atas tanah berpasir yang tidak rata, dalam kegelapan total, di tengah ketakutan akibat serangan. Kehidupan mereka terganggu oleh serangga, dan di beberapa tempat ada ular yang mengancam jiwa para pengungsi.
Sulit untuk menggambarkan penderitaan ini dengan kata-kata, namun keteguhan dan kepercayaan mereka pada perlawanan tetap kuat. Setiap pagi, pengungsi yang bangun tidur (jika bisa tidur) menghadapi hari yang berat dan menyakitkan.
Antrian Panjang untuk Mendapatkan Air
Mahatma al-Haddad, pengungsi yang tinggal di tenda di depan Universitas Al-Aqsa di Khan Younis, memulai harinya dengan antri untuk mengisi air untuk keperluan pribadi. Dia menggambarkan pemandangan itu sebagai keras: ratusan orang (wanita, anak-anak, dan pria) berdiri dalam antrian untuk mengisi satu atau dua galon air.
“Jika Anda beruntung dan bisa mengisi dalam satu atau dua jam, itu sudah mewah,” katanya, dikutip Palinfo, Jumat (7/6/2024).
Air bersih menjadi impian; sepuluh liter air bersih harganya tiga shekel atau sekitar satu dolar. Banyak orang yang tidak mampu membelinya, sehingga terpaksa minum air asin.
Laporan PBB menyatakan, kekurangan bahan bakar telah menghentikan operasi pabrik desalinasi di Gaza, sehingga warga terpaksa minum air limbah.
Setelah mengisi air, al-Haddad mulai menyalakan api untuk menyiapkan sarapan bersama istrinya, karena gas masak tidak tersedia di seluruh Gaza.
Israel telah melarang masuknya gas dan bahan bakar ke Gaza selama berminggu-minggu dan memperketat larangan ini setelah menduduki pos perbatasan Gaza sekitar sebulan yang lalu. Masalah tidak berhenti pada sarapan; ada makan siang dan makan malam. “Kayu bakar sulit didapat, dan harganya tidak terjangkau,” kata al-Haddad.
Penderitaan yang Tak Berujung
“Kata-kata saya tidak bisa menggambarkan sebagian kecil dari penderitaan ini. Setiap menit yang berlalu, kami mati ribuan kali,” kata al-Haddad.
Mereka kekurangan tidur, makanan layak, dan air bersih. Tenda-tenda itu seperti oven, dan mereka tidak bisa beristirahat, apalagi mereka yang sakit, hamil, atau lanjut usia.
Persiapan roti adalah bab lain dalam penderitaan. Tidak ada tempat yang layak untuk membuat roti, dan tidak ada bahan bakar atau gas. Semua warga Gaza terpaksa menggunakan kayu bakar di oven tanah.
Rasha Musleh, dalam wawancaranya, memohon agar gas masak dimasukkan dan roti dipanggang. “Kami sudah kehabisan kayu bakar,” katanya.
Penderitaan semakin parah dengan berlangsungnya pengungsian, sementara ribuan orang lagi masuk ke lingkaran api serangan darat di Rafah dan operasi di timur wilayah tengah.
Dunia tidak peduli dengan penderitaan ini, hanya ada pernyataan-pernyataan kecil di sana-sini, sementara Israel terus mengabaikan keputusan Pengadilan Internasional dan mendapat dukungan buta dari Washington. Presiden AS terus menyangkal bahwa Israel melakukan genosida.