Di tanah gersang di jantung Gaza, tenda-tenda rapuh bertebaran bagaikan luka putih di tubuh bumi. Di salah satunya, yang nyaris tak mampu menahan dingin malam maupun terik siang, duduk dua bersaudara, Nur dan Aya Shreim, bersama anak-anak mereka, setelah perjalanan pengungsian panjang yang lebih dulu melukai jiwa sebelum raga.

Tenda itu tak jauh berbeda dari ribuan lainnya: kain, tali, dan terpal yang ringkih, wajah-wajah letih yang menyimpan cerita luka. Dua tahun sudah mereka mengembara, setiap sudut menjadi kenangan, setiap kenangan meninggalkan luka terbuka.

Pengungsian bukan sekali, melainkan berulang. Keluarga harus berkali-kali meninggalkan rumah, anak-anak tumbuh dewasa sebelum waktunya. Menurut PBB, sekitar 1,9 juta orang—90% penduduk Gaza—telah menjadi pengungsi internal sejak dimulainya perang genosida, banyak di antaranya terusir berkali-kali.

Sekitar dua tahun lalu, Nur dan Aya meninggalkan rumah mereka di Beit Hanoun setelah hancur lebur dihantam serangan Israel. Mereka mengucapkan selamat tinggal dengan tubuh gemetar dan hati yang masih menyimpan harapan kembali. Tapi harapan itu hancur, terkubur di bawah raungan pesawat tempur, api, dan darah.

Perhentian pertama adalah toko-toko kosong dekat RS Indonesia di Beit Lahia. Dari sana mereka berpindah ke ruang-ruang sekolah yang dijadikan tempat perlindungan di Kota Gaza—namun bahkan sekolah pun tak selamat dari bom. Hingga akhirnya mereka berlabuh di tenda di Deir al-Balah, berharap menemukan rasa aman yang tak pernah datang.

Nur Shreim, seorang janda berusia 30-an tahun, menanggung hidup dengan tujuh anak. Putra sulungnya, Walid (10), dipaksa dewasa terlalu cepat. “Dia mencoba mengisi peran ayahnya, mengisi air, mencari kayu bakar, lalu berusaha mendapatkan sedikit makanan untuk adik-adiknya,” katanya kepada Al Jazeera Net.

Sering kali, Walid jatuh pingsan. “Kami membawanya dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain. Akhirnya dokter bilang penyebabnya sederhana tapi mengerikan: lapar,” ungkap Nur.

Ia melanjutkan, “Di sini kami harus menggiling kacang lentil karena tidak ada tepung, menyalakan api hanya untuk sepotong roti, memakai sedikit air untuk mencuci segenggam pakaian.”

Hidupnya berubah total saat gelombang serangan memaksa mereka lari mendadak dari tempat pengungsian. Suaminya kala itu berkata, ‘Bawa anak-anak ke tempat aman.’ Itulah pertemuan terakhir mereka. Kabar kesyahidannya datang bagai petir yang memecah langit. Sebelumnya, Nur juga sudah kehilangan saudara perempuannya, dua saudara laki-laki, melihat kakak tertuanya ditangkap, lalu suami Aya yang juga syahid.

Meski patah hati, Nur menggenggam pesan terakhir suaminya: “Hidup kita terbatas, bertahanlah dan jangan menyerah.”

Dua hari setelah suaminya syahid, Nur melahirkan bayi perempuan yang ia beri nama Risalah, nama saudara perempuannya yang lebih dulu gugur. Bagi Nur, bayi itu bukan sekadar nama, tapi simbol bahwa harapan bisa lahir bahkan di saat tergelap.

Sumber: Al Jazeera

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here