Spirit of Aqsa, Palestina- Ghada Ajeel, seorang profesor tamu asal Palestina di Departemen Ilmu Politik di Universitas Alberta di Kanada, menerbitkan sebuah tulisan di Middle East Eye tentang pembantaian di Jalur Gaza.

“Saat kita menyaksikan tragedi yang terjadi di Gaza, setiap kematian menjadi undangan bagi mereka yang masih hidup untuk menjadi pendongeng, untuk menjadi saksi penderitaan yang melampaui generasi,” demikian Ghada dalam tulisannya, dikutip Middle East Eye, Jumat (22/12).

Ghada menceritakan, Kota Khan Yunis yang awalnya diklaim zona aman oleh militer Israel, kini berubah menjadi tempat pembantaian baru. Khan Yunis menyaksikan pengeboman tiap hari. Bahkan, angkatan laut dan darat Israel melakukan genosida terhadap warga sipil di kota dan kamp pengungsi.

Tak hanya itu, Ghada menceritakan krisis obat-obatan di Jalur Gaza. Obat-obatan dasar di Gaza sudah menjadi barang mewah. Maka tidak perlu berbicara tentang pasien kanker atau gangguan liver, dan pasien yang membutuhkan cuci darah. Ribuan pasien menanti perawatan di sudut halaman rumah sakit tanpa obat-obatan.

Jumlah korban luka telah meningkat, menurut laporan Kementerian Kesehatan di Gaza, menjadi lebih dari 50.000 orang. Lantaran tidak mendapatkan perawatan yang tepat, mereka menghadapi kematian di lantai dan koridor rumah sakit karena kurangnya obat-obatan.

Sejak awal pembantaian di Jalur Gaza, hanya 400 korban luka atau kurang dari 1% dari total korban luka yang diizinkan keluar negeri untuk mendapatkan perawatan.

Ghada juga terus mendapat update informasi dari saudara laki-lakinya, Dokter Nasser, di Rumah Sakit Khan Yunis. Dia menyebut, banyak korban luka terpaksa diamputasi lantaran mengalami infeksi. 

“Masyarakat Gaza menghadapi kematian setiap hari, dan kisah-kisah penderitaan yang dialami oleh mereka yang telah mengalaminya sejak 1948 bersama anak-anak dan orang dewasa adalah hal yang menjamin kelangsungan cerita dan sejarah tersebut, bahkan jika pemiliknya meninggal,” tutur Ghada.

Tekad untuk tetap menghidupkan kisah para syuhada Palestina juga hadir dalam Rifaat Al-Arir, seorang penulis terkenal Palestina yang juga rekan Ghada. Rifaat syahid bersama istri, anak, dan keluarga saat rumah tempatnya berlindung dibom militer Israel di Kamp Jabalia, Jalur Gaza utara pada 7 Desember 2023. 

Kata-kata terakhir Rifaat abadi dalam puisi yang ia lebih suka tulis dalam bahasa Inggris, berjudul “If Death Is Written.”

“Jika kematian memang ditakdirkan untuk kita, biarlah kematian itu membawa harapan, dan biarlah kisah-kisah kita menjadi kesaksian ketabahan dalam menghadapi penindasan yang sedang berlangsung,” demikian puisi Rifaat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here