Ratusan pemukim menodai kawasan Masjid Al-Aqsa. Ritual provokatif seperti meniup shofar (tanduk domba) kembali digelar. Rabbi Aryeh Cohen dari Haifa, yang memimpin aksi itu, meniup shofar di dalam kompleks Al-Aqsa, untuk ketujuh kalinya sejak 1967. Bagi kelompok garis keras Yahudi, tiupan shofar melambangkan penaklukan, transisi zaman, dan dimulainya agenda “yahudisasi” penuh atas Al-Quds.
Menurut peneliti urusan Al-Quds, Ziyad Ibhais, ritual itu memiliki makna ideologis yang sangat berbahaya: “Bagi kelompok Bait Suci, tiupan di Al-Aqsa menandai berakhirnya identitas Islam masjid, dan dimulainya era klaim Yahudi atasnya.” Dengan kata lain, ini bukan hanya pelanggaran status quo, tapi upaya sistematis menghapus simbol keberadaan Palestina di kota suci.
Statistik memperlihatkan tren yang mengkhawatirkan. Pada awal bulan September versi kalender Ibrani, lebih dari 1.000 pemukim menyerbu Al-Aqsa dalam dua hari berturut-turut, sebagian besar melakukan doa, tarian, dan ritual Talmud di bawah perlindungan aparat Israel. Sepanjang Agustus lalu saja, hampir 9.000 ekstremis memasuki kompleks itu, kenaikan 12 persen dibanding tahun sebelumnya.
Bagi otoritas Palestina di Yerusalem, tindakan ini jelas merupakan “deklarasi perang terhadap status quo” dan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional. Mereka menyerukan PBB, terutama UNESCO, untuk segera menghentikan eskalasi yang kian terbuka. Namun hingga kini, respons internasional nyaris hampa, sementara setiap hari Al-Aqsa kian tergerus dalam skema kolonialisme religius Israel.