“Ketika sirene terdengar Jumat dini hari lalu, suaranya jauh lebih nyaring dan menggetarkan dari biasanya. Kami tak punya ruang perlindungan. Saya hanya bisa bersembunyi di bawah meja makan, cara yang usang dan tak aman, tapi tak ada pilihan lain di Al-Quds,” ungkap seorang perempuan Palestina yang tinggal di kota itu, menggambarkan ketakutan saat Israel menggempur Iran dan roket-roket mulai berjatuhan.
Cerita ini bukan pengecualian, melainkan cerminan realitas ribuan warga Al-Quds. Mereka hidup tanpa ruang perlindungan di rumah-rumah mereka. Di kota yang selalu dikepung ketakutan, keselamatan seakan menjadi kemewahan yang hanya dinikmati warga Yahudi.
Sekolah Reyot Dijadikan Tempat Perlindungan
Ketika pemerintah pendudukan mengumumkan pembukaan lembaga dan sekolah sebagai tempat perlindungan publik, warga hanya bisa mengelus dada. Banyak dari sekolah itu—terutama di lingkungan mayoritas Palestina—adalah bangunan tua yang nyaris runtuh. “Saya shock waktu tahu sekolah anak saya dijadikan tempat perlindungan, padahal sudah lama kami protes karena bangunannya berbahaya dan minta direnovasi,” kata seorang warga Silwan.
“Saya lebih memilih mati di rumah daripada bertaruh nyawa di bangunan yang bisa runtuh kapan saja,” tegasnya.
Ruang Perlindungan: Hak Eksklusif Pemukim Yahudi

Menurut arsitek Palestina yang enggan disebutkan namanya, aturan pembangunan ruang perlindungan baru berlaku setelah Perang Teluk 1991. Tapi hingga kini, mayoritas rumah warga Palestina di Al-Quds tetap tak memilikinya. Alasannya kompleks: mulai dari biaya tinggi, syarat izin yang mempersulit, hingga banyak rumah yang sudah dibangun sebelum aturan itu diberlakukan.
“Coba saja lihat bangunan pemukim Yahudi di bagian barat Al-Quds, semuanya dilengkapi ruang perlindungan. Tapi rumah warga Palestina? Hampir tidak ada,” jelasnya.
Adapun klaim pemerintah Israel tentang dibukanya tempat perlindungan publik untuk semua warga, menurut sang arsitek, hanyalah pencitraan. “Faktanya, tempat-tempat itu tak layak, sempit, dan tak akan cukup untuk satu lingkungan saja.”
Pola Perencanaan yang Sengaja Meninggalkan Warga Palestina
Monir Nusseibeh, pakar hukum HAM sekaligus Direktur Pusat Aksi Komunitas Universitas Al-Quds, menilai hal ini sebagai bagian dari sistem diskriminasi struktural. “Karena hampir tak ada izin yang diberikan kepada warga Palestina, mereka membangun rumah tanpa standar keselamatan. Ini akibat langsung dari kebijakan rasis yang membuat warga Palestina hidup dalam ketakutan dan ketidakamanan abadi,” ujarnya.
Dua Jenis Rumah Paling Terancam
Dua jenis rumah paling rentan saat sirene meraung di langit Al-Quds:
- Gedung tinggi yang dibangun tanpa pengawasan di wilayah yang berada di balik tembok apartheid, yang sengaja dibiarkan berkembang oleh otoritas Israel agar warga Palestina bermigrasi ke sana.
- Rumah-rumah tua dan rapuh yang dilarang direnovasi atau rusak akibat galian arkeologi Israel, terutama di kawasan Kota Tua dan Silwan, yang menyebabkan lantai-lantai amblas dan dinding rumah retak-retak.
Warga Al-Quds hidup dalam ketakutan yang tak pernah selesai—bukan hanya karena perang, tapi karena sistem yang tak mengakui hak mereka untuk sekadar selamat.
Sumber: Al Jazeera