Noura Erakat, pengacara hak asasi manusia (HAM) keturunan Palestina dan profesor di Rutgers University, memperingatkan bahwa dunia harus “sangat berhati-hati” karena keberhasilan kesepakatan Gaza saat ini bergantung pada Amerika Serikat dan Israel, bukan pada komunitas internasional.
“Kita memiliki cukup banyak bukti bahwa tidak ada komitmen terhadap perjanjian apa pun. Kita melihat terakhir kali Hamas bergantung pada Amerika Serikat setelah pembebasan Edan Alexander, tidak satu pun kesepakatan dijalankan. Kita juga tahu Israel tidak pernah dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran perjanjian gencatan senjata,” kata Erakat, seraya mengingatkan bahwa Israel secara sepihak melanggar gencatan senjata terakhir dengan Hamas pada Maret 2025.
“Saat ini semua pihak menyambut kesepakatan ini karena kita ingin anak-anak (dan seluruh rakyat Palestina) bisa makan, bisa tidur, bisa beristirahat semalam saja tanpa dibombardir di tenda-tenda sementara, tanpa terus terbakar hidup-hidup, dan tanpa dibiarkan tanpa layanan medis dasar. Itu adalah prioritas utama,” ujarnya.
Namun ia menilai ada masalah mendasar dalam proses kesepakatan tersebut.
“Yang sangat mengganggu dari momen ini (meski kita menyambut penghentian pengeboman) adalah bahwa kesepakatan ini seharusnya menjadi perjanjian multilateral,” tegasnya.
“Seharusnya ini difasilitasi oleh komunitas internasional dan dipaksakan kepada Amerika Serikat dan Israel melalui kerja sama global yang tegas, agar keberhasilannya tidak diserahkan begitu saja pada keputusan dua pihak yang selama ini menjadi pihak agresor,” lanjutnya.
Kurangnya peran komunitas internasional dalam kesepakatan ini, menurut Erakat, adalah “kegagalan sistem internasional”.
“Akibat kegagalan ini, rakyat Palestina tetap berada dalam ancaman, begitu pula populasi lain di seluruh dunia yang hidup dalam situasi penindasan serupa,” ujarnya.
Sumber: Al Jazeera