Di balik lembar-lembar kain dan plastik yang membentuk tenda darurat di sebelah barat Khan Younis, Gaza selatan, seorang lelaki renta bernama Salim Ashfur (85 tahun) perlahan mengering, seperti layu yang tak sempat merekah. Ia bukan hanya pengungsi biasa, tapi seorang muadzin yang telah mengabdikan hidupnya untuk memanggil umat pada sujud. Kini, tubuhnya hanya tinggal tulang dan kulit, tergeletak tak berdaya dalam sunyi yang menyayat.
Salim adalah ayah dari enam anak. Dahulu tinggal di kota Abasan, sebelah timur Khan Younis. Namun, seruan evakuasi dari pasukan pendudukan memaksanya berpindah ke barat kota, hanya untuk menemukan kelaparan menanti di ujung pengungsian. Berat badannya anjlok dari 75 kilogram menjadi kurang dari 40. Matanya rabun, kakinya gemetar, bahkan untuk ke kamar mandi pun ia harus ditopang. Satu-satunya santapan yang terkadang ia dapatkan hanyalah sedikit duqqa, campuran gandum dan rempah yang tidak layak disebut makanan.
Dalam sebuah video yang viral di media sosial, Salim berkata lirih, “Sudah lima hari saya tak menyentuh roti. Saya hanya mengandalkan sup lentil yang lebih banyak airnya daripada isi.” Ia tak lagi bisa berdiri, bahkan duduk pun susah. Wajahnya kering, suaranya bergetar. Tak ada amarah tersisa, hanya perih dan doa yang menggantung di udara.
Situasi memilukan ini terjadi bukan karena bencana alam, tapi karena kebijakan sistematis: sebuah genosida disertai kelaparan yang disengaja. Pada 2 Maret lalu, Israel menutup seluruh akses bantuan ke Gaza, membiarkan anak-anak, ibu-ibu, dan lansia seperti Salim, perlahan tercekik kelaparan. Hingga hari ini, setidaknya 175 warga Palestina telah syahid karena kelaparan, termasuk 93 anak-anak.
Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, menyerukan bantuan segera. Dalam pernyataannya di platform X, ia menegaskan: “Kelangsungan hidup warga Gaza bergantung sepenuhnya pada masuknya bantuan.”
Sumber: Anadolu Agency