Di tengah kepungan kelaparan dan perang pemusnahan di Gaza, serta derap cepat kolonisasi dan pembersihan etnis di Tepi Barat, Israel kini mempercepat langkah-langkahnya di Al-Quds dan Masjid Al-Aqsha. Hari Ahad lalu menjadi saksi mata atas penodaan paling masif terhadap kompleks Al-Aqsha (sejak pendudukan dimulai) dengan ribuan pemukim ekstremis menyerbu situs suci itu dalam peringatan yang mereka klaim sebagai “hari kehancuran Haikal”.
Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben Gvir, memimpin aksi penodaan itu bersama sejumlah menteri dan anggota parlemen, di bawah perlindungan penuh aparat. Di waktu yang sama, Menteri Pertahanan Yisrael Katz muncul di dekat Tembok Al-Buraq dan menyatakan, dengan penuh arogansi, bahwa Israel akan “mengukuhkan cengkeramannya atas Al-Quds, Tembok Barat, dan ‘Gunung Haikal’, selamanya.”
Namun, yang paling mengkhawatirkan adalah pergeseran nyata yang terekam di lapangan: ritual pemukim kini melampaui batas area timur dan menyebar ke wilayah dalam Al-Aqsha, mencerminkan langkah awal menuju pembagian ruang secara terang-terangan.
Kesempatan Emas bagi Ekstremis
Menurut pakar isu Israel, Dr. Muhannad Mustafa, kaum ultranasionalis dan gerakan Zionis religius melihat momen ini sebagai “kesempatan bersejarah” untuk merombak status quo dan menjadikan bagian dari Al-Aqsha sebagai area permanen untuk ritual Yahudi.
Di balik layar, berbagai organisasi Zionis bekerja siang dan malam demi mewujudkan pembangunan kuil di atas reruntuhan Masjid Al-Aqsha, sebuah agenda yang selama ini dipoles dengan narasi “kebebasan beragama”.
Dari Normalisasi Menuju Penjajahan Total
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Inisiatif Nasional Palestina, Dr. Mustafa Barghouti, memperingatkan bahwa langkah-langkah ini adalah bagian dari proyek Yahudisasi besar-besaran atas Al-Quds, Tepi Barat, Masjid Al-Aqsha, dan Masjid Ibrahimi di Hebron.
Ia menegaskan, “Ben Gvir bukan sekadar menciptakan simbol politik. Ia secara bertahap membangun legitimasi untuk merobohkan Al-Aqsha dan menggantinya dengan kuil.” Barghouti menambahkan, satu-satunya cara untuk menghentikan ini adalah tekanan internasional berupa boikot dan sanksi. Ia menyerukan kepada 57 negara Arab dan Muslim untuk mengambil sikap, bukan hanya sekadar kecaman simbolik.
Dunia Diam, Palestina Menggigil
Di sisi lain, akademisi Universitas Sorbonne, Prof. Mohamed Henid, menyebut pendudukan atas Al-Quds dan Al-Aqsha sebagai kejahatan terang-terangan terhadap hukum internasional. Namun yang lebih mengerikan, kata dia, bukan hanya pelanggaran hukumnya, melainkan ketidaktakutan Israel atas pelanggaran itu.
Ia mengkritik diamnya dunia Arab dan menyebut bahwa kebisuan itulah yang menyuburkan kebiadaban Zionis.
“Solusi dua negara hanyalah ilusi yang kini dijajakan untuk menenangkan opini publik Barat,” ungkapnya, “Sementara di tanah yang terbakar, satu demi satu harapan rakyat Palestina dimusnahkan.”
Apa yang terjadi hari ini di Al-Aqsha bukan sekadar penistaan tempat suci. Ia adalah cerminan dari sebuah proyek kolonial yang berusaha menghapus identitas, sejarah, dan hak hidup sebuah bangsa. Jika dunia memilih diam, maka sejarah akan mencatat: bahwa sementara reruntuhan Al-Aqsha bergetar, suara umat manusia justru membeku.
“Apa yang diderita Al-Aqsha bukan hanya oleh serbuan, tapi juga oleh pengkhianatan keheningan.”