Spirit of Aqsa- Dengan penuh kegembiraan, Rihan Sharab, seorang perempuan Palestina berusia 30 tahun, menemukan jarum rajut dan gulungan benang wol berwarna di bawah puing-puing rumahnya yang hancur di Khan Younis, Gaza Selatan. Benda-benda ini menjadi pelarian terakhirnya untuk menghadapi musim dingin yang menggigit.

Rihan menghabiskan berjam-jam mengangkat puing-puing rumahnya satu per satu, seakan mencari “harta karun.” Setelah menemukannya, dia mulai merajut pakaian musim dingin untuk anak-anaknya, Rakan (11) dan Toto (8), yang hanya memiliki pakaian seadanya saat mengungsi dari rumah keluarganya yang hancur akibat serangan Israel.

Alternatif Darurat

Rihan mulai menggali alat-alat rajutannya setelah mencari pakaian pengganti di pasar dan tidak menemukannya. Gaza Utara tidak memiliki stok pakaian musim dingin karena blokade ketat di perbatasan sejak pecahnya perang pada 7 Oktober tahun lalu.

Menurutnya, pakaian di pasar sangat langka dan harganya sangat tinggi, tidak terjangkau oleh kebanyakan orang yang kehilangan mata pencaharian dan tabungan mereka akibat perang.

Pilihan untuk Bertahan Hidup di Tengah Perang

Sebelum perang, Rihan adalah pengrajin pakaian wol yang menjual produknya melalui media sosial. Kini, dia menerima banyak permintaan dari orang Palestina di luar negeri dan organisasi kemanusiaan untuk membuat pakaian hangat sebagai donasi bagi keluarga yang membutuhkan di Gaza.

Namun, krisis persediaan wol membuat pekerjaannya semakin sulit, karena stok wol yang ada berkualitas rendah dan harganya melonjak drastis.

Di tengah situasi ini, Nida Ayta, seorang pengungsi dari Beit Lahia, memulai inisiatif “Workshop Jarum dan Benang” di tenda pengungsian di Khan Younis. Nida, 31 tahun, memanfaatkan bahan-bahan bekas seperti selimut untuk dijadikan pakaian musim dingin.

Workshop ini didirikan pada Juli lalu dan bertujuan untuk membantu warga mengatasi krisis pakaian di tengah larangan Israel terhadap masuknya barang-barang kebutuhan musim dingin. Bersama timnya yang terdiri dari 12 perempuan dan 7 laki-laki, Nida bekerja dengan prinsip sosial, bukan untuk keuntungan, demi membantu pengungsi dan keluarganya.

Memanfaatkan Bahan Terbatas

Nida juga menghadapi kesulitan mendapatkan selimut, yang harganya kini sangat mahal. Banyak pengungsi datang membawa selimut mereka sendiri untuk dijadikan pakaian hangat. Sebagian besar dari mereka hanya membayar biaya rendah, sekitar 30 shekel (kurang dari 10 dolar), namun beberapa di antaranya dikerjakan tanpa biaya, seperti untuk seorang ibu dengan tiga anak yang suaminya hilang selama berbulan-bulan.

Workshop ini mengandalkan kerja manual karena tidak ada listrik sejak perang dimulai. Tim “Jarum dan Benang” hanya memiliki satu mesin jahit yang dioperasikan dengan pedal sepeda. Mesin ini dijalankan oleh seorang penjahit yang membuat pakaian sesuai ukuran setelah memotong selimut secara manual.

Kebanyakan dari 2,2 juta warga Gaza kini mengalami kemunduran besar dalam kondisi hidup mereka. Perang telah memaksa lebih dari 85% dari mereka meninggalkan rumah mereka, dan blokade Israel memperburuk situasi dengan memutus akses ke kebutuhan pokok, menurut data dari organisasi internasional.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here