Spirit of Aqsa, Palestina- “Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang. Bahkan hari kIamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan hari Kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.”
Kata-kata itulah hal terakhir yang dipublikasikan oleh syuhada Palestina, Moataz Billah Khawaja di akun Facebook-nya, beberapa jam sebelum melakukan serangan perlawanan penembakan di Tel Aviv, yang mengakibatkan 4 warga Israel luka-luka, beberapa di antaranya dalam kondisi kritis.
Aksi heroik martir Moataz Khawaja terjadi, beberapa jam setelah pasukan pendudukan Zionis Israel membunuh tiga pejuang perlawanan di kota Jaba, dengan menembak kendaraan mereka. Korban adalah Sufyan Adnan Ismail Fakhuri (26 tahun), Nayif Ahmad Yususf Malayisha (25 tahun) dan Ahmad Muhammad Dzeib (22 tahun).
Banyak yang berbagi di media sosial kenangan yang menunjukkan keberanian sang martir, saat dia mengungkapkan solidaritas penuhnya kepada perlawanan di Gaza selama agresi Israel pada Mei 2021.
Dia menulis di akun Facebook-nya, “Tidak ada lagi yang disebut Greenwich Mean Time, atur jam Anda sesuai dengan waktu Abu Obeida,” sebagai tanggapan atas pengumuman Brigade Al-Qassam agar Israel “mencabut jam malam di Tel Aviv dan sekitarnya selama dua jam, atas perintah Komandan al-Qassam Muhammad al-Deif,” dan pernyataan juru bicara militer Brigade al-Qassam, Abu Obeida, yang mengatakan, “Setelah pemboman menara sipil di Gaza, penduduk Tel Aviv dan pusat harus berdiri dengan satu kaki dan menunggu tanggapan kami yang mengguncang bumi.”
Orang-orang Palestina di mana-mana merayakan dan memuji aksi heroik Moataz. Terlebih aksi ini terjadi setelah kejahatan yang dilakukan pendudukan Israel yang terus berlanjut di Jenin, Nablus dan semua wilayah Palestina, dan massa menegaskan dukungan mereka untuk opsi perlawanan.
Klip video yang dipublikasikan di media sosial mendokumentasikan saat martir Moataz Khawaja melakukan aksinya dan mati syahid oleh tembakan polisi pendudukan Israel di Jalan Dizengoff, Tel Aviv.
Sumber lokal menyatakan bahwa Moataz Khawaja dapat mencapai Tel Aviv setelah melintasi “celah” di tembok yang memisahkan desanya yang terletak di perbatasan antara Tepi Barat dan wilayah Palestina yang diduduki Israel sejak tahun 1948 (Paelstina 48).
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menggambarkan aksi itu sebagai situasi yang sulit, karena dia mendapatkan penjelasan masalah itu selama kunjungannya ke ibu kota Italia, Roma.
Ketika ayahnya, Syekh Salah Khawaja, dari desa Ni’lin, sebelah barat Ramallah, menerima berita tentang kesyahidan putranya dalam aksi heroik, dia berkata bahwa dia “dicintai semua orang”. Dia menambahkan, “Dia adalah orang yang tenang, pendiam dan religius. Sangat gigih menjalankan sholat di masjid. Apa yang dia lakukan adalah reaksi alami bagi setiap orang Palestina yang melihat pembantaian-pembantaian ini.”
Moataz Billah Khawaja lahir pada tahun 2000 di desa Ni’lin. Dia adalah putra ketiga dari keluarga yang memiliki sejarah panjang aksi nasional dalam menghadapi pendudukan Israel. Ayahnya, Sheikh Salah Khawaja (51 tahun), salah seorang pemimpin Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) di Tepi Barat, beberapa kali ditangkap dan ditawan di penjara pendudukan Israel, selalu diintai dan diburu selama bertahun-tahun oleh pendudukan Zionis Israel.
Sheikh Salah Khawaja dianggap sebagai salah satu tokoh reformasi di wilayah tersebut. Dia adalah salah satu dari ratusan aktivis Palestina yang dideportasi oleh pendudukan Israel ke Marj al-Zuhur di Lebanon selatan pada awal 1990-an.
Moataz Billah belajar di sekolah desa. Tetapi dia tidak dapat menyelesaikan studinya karena ditangkap dan ditahan di penjara pendudukan Israel sebelum dia menyelesaikan studynya pada usia 17 tahun. Kemudian dia ditangkap 3 kali, yang terakhir dia ditangkap dan ditahan selama 22 bulan, dan dibebaskan pada tahun 2020.
Setelah dibebaskan, Moataz Billah bekerja di toko peralatan rumah tangga, yang membuatnya dikenal ke seluruh desa. Menurut sepupunya, dia berencana membangun rumah dan menikah.
Dua jam setelah aksi di Tel Aviv tersebut, pasukan besar tentara pendudukan Israel menyerbu rumahnya dan rumah kerabatnya yang terletak di bagian barat desa, dan merusak serta menghancurkan isinya.
Penyerbuan desa berlangsung lebih dari 6 jam. Pasukan pendudukan Israel menggunakan pasukan tambahan dan buldoser militer. Pada pukul 5:30 pagi mereka mundur setelah menangkap ayah dan kakak laki-lakinya Muhammad (28 tahun) setelah memukulinya secara brutal.
Menurut sumber setempat, pasukan pendudukan Israel tersebut bermaksud untuk menghancurkan rumah tersebut, namun ditarik kembali, karena terletak di lantai satu sebuah bangunan keluarga milik ayah dan paman-pamanya. Dana hanya cukup memasang tanah sekeliling rumah, sebelum dihancurkan dari dalam.